illustration by Sveta Dorosheva
Dum! Pletak!
Dudum! Pletak!
Dum bergendum-gendum yang merah dan
berdarah-darah.
Yang kau bilang kerak, akulah yang
kerak.
Yang kau bilang langit, ya akulah yang
di langit...
Bau busuk masuk ke dalam lubang
hidungku dan mencekik tenggorokan dengan kekuatan yang melebihi dorongan
tangan. Aku tahu itu bau busuk, tapi yang ini berbeda, yang ini membuatku ingin
muntah hingga menarik keluar semua organ dalamku untuk kucuci bersih dengan air
sungai bening, agar bau itu benar-benar bersih dan tidak menempel.
Kata
orang, manusia bisa menyesuaikan diri dengan kondisi sekitarnya setelah
membiasakan semua inderanya bekerja selama beberapa menit. Seperti di
kegelapan, awalnya akan terasa sangat gelap jika tiba-tiba mati lampu, namun
lama-kelamaan mata kita akan terbiasa dan meskipun pengelihatan tidak begitu
baik, setidaknya indera yang lain bekerja dan mampu membuat kita meraba-raba.
Di
sini berbeda. Kalau saja indera penciumanku mampu melontarkan kata-kata
sepertiku, mungkin mengumpat adalah hal pertama yang akan dilakukannya. Sama
sepertiku yang dengan mudah mengumpat pada kubangan-kubangan keruh setelah
hujan berhenti ataupun pada bunyi sombong klakson-klakson di tengah jalanan
macet.
Kasihan
hidungku. Sungguh kasihan.
Lebih
dari hidungku, aku justru mulai prihatin dengan diriku sendiri. Keprihatinan
ini bukan tanpa alasan, di hadapanku berdiri seekor, ya benar, se-e-kor, sapi,
tunggu...atau mungkin kerbau, atau entah itu lembu atau manusia berkostum
setengah-setengah, antara sapi, kerbau, dan lembu. Oke, anggap saja itu kerbau,
karena dia bertanduk. Aku tidak tahu kebenaran pengelihatanku, yang pasti apa
yang kulihat di depan mataku itu agak menjijikkan. Aku berhak menggunakan kata
‘menjijikkan’ walaupun kerbau itu memakai semacam kain putih yang digunakannya
sebagai celana. Celana seadanya.
Jika
penjelasanku ini belum terdengar kurang waras, biar kutambahkan lagi satu hal.
Aku tidak bohong, tapi kerbau itu berdiri, dengan dua kakinya! Dia memakai
celana dan bisa berdiri. Nah, sekarang tak perlu kujelaskan kembali kenapa itu
kusebut menjijikkan. Maksudku, itu seekor kerbau bercawat yang bisa berdiri!
Badan
Si Kerbau berbulu putih, meski begitu dia mengeluarkan bau yang amat...sangat,
melebihi bau batang tikus, kalikan seribu, bau. Dia sangat bau. Jadi aku
menarik kesimpulan bahwa yang melekat di tubuhnya itu bukanlah kostum kerbau
yang tidak dicuci berminggu-minggu, melainkan kulit kerbau putih yang memang
baunya keterlaluan.
“Mooo...
Mooooo...” Si Kerbau melenguh.
Aku
berusaha untuk tidak melakukan kontak mata dan untungnya saat ini kondisiku
sedang digantung terbalik, membuatku tidak dapat melakukan kontak mata dengan
makhluk itu. Syukurlah. Pria sepertiku tahu kapan waktunya bertindak jantan dan
kapan untuk diam saja supaya selamat.
Aku
tidak ingat siapa yang mengikat kakiku dengan tali dan siapa juga yang
menggantungku di tempat ini. Lagipula, tempat apa ini? Seingatku aku sedang
melakukan ekspedisi di Nepal bersama kru dari sebuah majalah petualangan alam
terkemuka dari Amerika. Setelah tiba di Tibet, kami beristirahat sebentar di
sebuah rumah milik penduduk lokal, rencananya enam hari kemudian kami akan
memulai pendakian di Himalaya.
Pemilik
rumah tempat kami tinggal menawarkan tur gratis ke Kathmandu Valley, kami pun
setuju, mengingat tempat tersebut memang menjadi salah satu tujuan wisata wajib
di Nepal. Dan...sepertinya hanya sampai di situ ingatanku berhenti. Selebihnya
berupa potongan-potongan kabur antara tersesat, cahaya keemasan, dan
ingatan-ingatan kecil yang membekas dari cerita seorang biksu tua mengenai
makhluk-makhluk mistis penjaga Nepal. Lalu di sinilah aku. Berkutat dengan bau
busuk.
“Mooo...mooo...
Makan malam, mooooo...” Si Kerbau mengambil sebuah belati perak dan
mengacung-acungkannya ke atas sambil melenguh gembira. Aneh, aku seolah
mengerti bahasa Si Kerbau begitu saja.
Ini
menyedihkan. Mimpi ini menyedihkan...
Setidaknya
aku tidak sendiri kalaupun mimpi buruk ini sungguhan. Kulihat teman-teman
ekspedisiku juga tergantung terbalik di berbagai tempat. Ada yang di ujung
ruangan, ada yang di sampingku dalam keadaan yang aku tak ingin tahu dia
pingsan atau sudah mati, ada pula yang tergantung tepat di depanku. Kami semua
seperti tuna-tuna raksasa di tempat pelelangan ikan yang masih segar dan siap
didistribusikan.
“Duruduuu...hari
ini makan besar, setelah setahun menunggu. Hmm...duruduuu... Nyam, nyam...”
kata seekor tuna. Benar-benar ikan tuna! Dia muncul dari balik ruangan gelap
seraya bergumam dengan nada riang. Kedua bola matanya yang bundar besar berair
seperti sedang menangis, tapi dari sinar wajahnya yang kelewat cerah, aku tahu
bahwa dia sedang menikmati suasana di sekitarnya.
Ya
Tuhan, aku tidak akan berbicara yang aneh-aneh lagi. Si Kerbau sudah cukup
menjijikkan, sekarang ada seekor tuna dengan dua tangan dan dua kaki yang bernyanyi
riang seolah hari ini adalah ulang tahunnya. Tempat penyiksaan macam ini
sesungguhnya lebih mengerikan dari neraka, dan meski aku belum pernah ke sana,
aku berharap agar tempat ini tidak menginspirasi para arsitek neraka kelak.
“Ahaaa!
Ahaaa! Aku membawa lagi satu buruan untuk makan malam kita! Wanita tua yang
tersesat, semakin lama semakin bagus, kaldu akan semakin sempurna!” Sebuah
kepakan sayap terdengar, diiringi oleh suara tawa melengking. Makhluk lainnya
turun, kali ini seekor angsa putih. Angsa itu menurunkan seorang wanita tua
berambut kelabu acak-acakan. “Cepat! Siapkan air panas!”
Si
Angsa mungkin adalah makhluk dengan penampilan paling normal di sini. Dia hanya
terlihat seperti burung biasa. Burung yang baik hati malah. Sayangnya itu semua
tipu muslihat. Tidak ada burung angsa di dunia ini yang nampak antusias
menjadikan seorang wanita tua sebagai kaldu supnya.
Si
wanita tua tidak bicara apa-apa, dia meringkuk di lantai bermarmer hitam
segelap langit malam, sewarna dengan jiwanya yang ketakutan, yang dalam hati
tak rela dilahap oleh tiga makhluk keji di sekelilingnya. Mungkin ini sudah
takdirnya, tak ada lagi daya upaya. Mungkin dewa memang sedang beeristirahat
sejenak dan sengaja tidak mempedulikannya. Mungkin...mungkin ini ajalnya.
Malangnya
wanita tua itu.
Malangnya
kami.
Mendadak
Si Kerbau, Si Tuna, dan Si Angsa menyeret Si Wanita Tua ke dalam ruangan gelap
yang ada di sebrang. Ruangan itu berpintu kayu, dan sepertinya kayu yang
menempel adalah pohon yang sedang bertumbuh. Di balik pintu itu besar
kemungkinan adalah dapur. Menarik. Sekarang bukan hanya diriku saja yang tampak
memprihatinkan. Seluruh peristiwa dan tempat ini tampak memprihatinkan, tetapi
kalau lama-lama dipikirkan justru malah berubah konyol.
Sedang
apa kami di sini?
Pasti
ada alasan kenapa kami di sini?
Belum
selesai aku bertanya-tanya, aku mendengar suara bersahut-sahutan sedang
bernyanyi, menyanyikan semacam lagu anak-anak dengan soneta yang riang gembira.
Aku penasaran dengan apa yang sedang terjadi di sebrang sana, di dalam ruangan
gelap tempat para makhluk itu berpesta.
“Dum! Pletak!”
“Dudum! Pletak!”
“Dum bergendum-gendum yang merah dan
berdarah-darah.”
“Yang kau bilang kerak, akulah yang
kerak.”
“Yang kau bilang langit, ya akulah yang
di langit.”
“Kahyangan tidak indah.”
“Langit berbunyi dum durudum pletak!”
“Di sini kami mengaduk-aduk merah dan
berdarah-darah.”
“Jangan berhenti di sini, di sini kami
yang beraksi.”
“Jika kau mendengar gemuruh dum
bergendum-gendum.”
“Menyanyilah.”
“Menyanyilah selagi kami memasak.”
Semoga
Tuhan memaafkan dosa-dosa manusia sepertiku, yang terlena dengan gemerlapnya
dunia.
“Psst!
Morpheus! Hei! Kau belum mati, bukan?”
Aku
dengan segenap tenaga yang tersisa berusaha mendongak. Fotografer asal Kanada
bernama Rodson Sharven di sampingku yang tadinya kukira mati ternyata masih
hidup dan cukup kuat untuk mengayun-ayunkan badannya ke kiri dan ke kanan,
mencoba membangunkan yang lain.
“Rodson!
Kita harus keluar dari sini!” seruku.
“Jangan
asal bicara!”
“Aku
tak peduli! Aku hanya ingin pulang dan minum wine!”
“Ssst!
Tidak bisa Morph! Lihat sekelilingmu. Lihat, tidak ada jalan keluar!”
“Harus
ada!”
“Bodoh
kalian” sahut sebuah suara dari sisi kananku. Itu adalah Jeff Richardmore,
seorang bilyuner Texas yang sudah sering mengikuti berbagai ekspedisi. “Tidakkah
kalian ingat apa yang terjadi? Seorang biksu tua bercerita pada kita tentang
kuil Pangboche di daerah pegunungan terpencil Himalaya, dia bilang kuil itu
menyimpan sebuah tangan aneh yang dipercaya sebagai tangan Yeti. Kita jadi
penasaran dan bersikeras pergi lebih awal untuk mendaki Himalaya! Kita terkena
longsoran salju! Kemudian kita tak sadarkan diri dan berada di sini! Tahukah
kalian apa artinya? Ini semua telah direncanakan! Kita memang diarahkan kemari!
Untuk dijadikan santapan dewa-dewa mereka! Tidak ada jalan keluar!”
Aku
mendelik, kerongkonganku yang kering kini seperti dialiri kerikil-kerikil
kecil. Sulit rasanya berkonsentrasi sekaligus menyampaikan pendapatku, atau
yang lebih tepat keluhanku, dalam keadaan seperti ini. “De...uhuk uhuk!” aku
tersengal. “De...wa?”
“Ya!
Penduduk Nepal percaya bahwa sapi atau kerbau adalah hewan suci. Mereka bahkan
memiliki sebuah festival bernama Gai Jatra yang berkaitan dengan hewan suci
itu. Ingat kembali, saat berada di Kathmandu kita menyaksikan festivalnya,
karena jalan utama di sana memang digunakan sebagai rute festival.”
“Kau
benar! Aku ingat, Jeff!” Rodson menyiyakan. “Dan festival itu adalah untuk
memuja Yamaraj! Dewa...”
“KEMATIAN!”
pekik kami bertiga spontan.
Aku
dan kedua teman ekspedisiku yang selamat tidak akan melupakan hari-hari dimana
kami tersesat dan terjebak di rumah dewa. Di sana tidak seindah dan seglamor
yang manusia pernah bayangkan, tentang apa itu yang disebut kahyangan.
Setidaknya begitulah kesanku mengenai salah satu rumah dewa yang tidak sengaja
kami kunjungi. Entah seperti apa rumah dewa-dewa yang lain, aku hanya tahu
bahwa rumah dewa yang pernah kulihat penuh dengan kengerian.
Aku
tahu mereka tidak bermaksud jahat, mereka hanya melakukan apa yang sudah
seharusnya mereka lakukan tiap tahun. Mengisi perut. Kalaupun apa yang mereka
santap kurang manusiawi, itu bukan pilihan mereka. Terkadang aku justru merasa
kitalah yang bertindak sebagai orang jahatnya, bahwa manusialah yang terlalu
sombong dan kurang manusiawi. Kita bebas melakukan apapun sesuka hati, berjalan
kesana-kemari menggunakan sesuatu yang kita bangga-banggakan bernama akal, menyantap
hewan apapun setiap hari, setiap tahun, setiap waktu. Tanpa rasa bersalah,
terkadang tanpa pula rasa syukur. Kita hanya bisa makan dan makan. Kemudian hal
buruk terjadi, kemudian kita menyalahkan yang lainnya. Lupa bahwa kita sendiri
merupakan makhluk terkejam di muka bumi.
Banyak
orang yang tidak mempercayai kisahku. Mereka bilang aku ini pembual. Tak apa,
aku yakin semua misteri akan menjadi lebih menarik jika tetap berada tipis di
antara realitas dan kebohongan. Tentang bagaimana cara kami selamat, itu adalah
misteri kami bertiga. Bohong atau tidak, Rodson dan Jeff tahu pasti bahwa
akulah yang menyelamatkan nyawa mereka, dan katakan saja mereka berhutang besar
padaku. Sangat besar.
Si
Kerbau, Si Tuna, dan Si Angsa, tiga makhluk itu menungguku kembali mendaki
Himalaya untuk yang kedua kalinya. Jika waktu itu tiba, itu berarti jalanku
sudah benar dan aku tak lagi menjadi orang yang doyan makan segala. Ya. Itulah
saat yang tepat untuk mendaki Himalaya. Itulah saat yang tepat bagi mereka
untuk memulai makan malam terbaiknya.
-THE END-
Tantangan menulis #absurd @JiaEffendie