Sabtu, 05 Oktober 2013

First Time Rafting At NOARS Probolinggo

        Akhirnya saya rafting! Hehe... Keputusan untuk rafting bisa dibilang mendadak. Pemicunya adalah rasa iri saya pada teman-teman SMA dan teman kampus yang sudah pergi rafting duluan. Nah, saya pun membujuk Si Papa untuk berangkat rafting dengan alasan: “DIJAMIN PA, DIJAMIN SERU!”. Papa saya yang suka olah raga adrenalin (dan mudah kebujuk) langsung setuju.
 Saya segera browsing tempat-tempat rafting terdekat yang punya pemandangan sekaligus jeram bagus, dan saya tertarik dengan salah satu tempat rafting di Probolinggo yang dikelola oleh NOARS. Katanya nanti ada goa, air terjun, terus airnya bening, terus lewat hutan-hutan hijau, lewat tebing-tebing (ngiler...). Setelah booking, berangkatlah kami (saya, Papa, sepupu saya Elvin, dan teman saya Titi) ke Probolinggo, menuju tempat rafting yang ternyata lumayan terpencil. Harus tanya sana-sini dulu biar nggak nyasar. Setibanya di sana, semua terbayar. Bener-bener puas!

Beneran ada goanya dan beneran airnya bening.

Beneran juga hutannya hijau dan ada tebing-tebingnya.

Foto di bawah air terjun bersama mas-mas instruktor.

Jeramnya bikin kewalahan.

Yang Perlu Diperhatikan:

-     Stamina harus sehat dan fisik harus kuat. Olah raga dulu sebelum berangkat, tapi ‘nggak’ juga nggak apa-apa (saya buktinya, tapi pulang langsung sekarat).

-       Berdoa dan sarapan dulu sebelum berangkat.

-       Kalau di tengah jalan lapar, makan aja. Bebas.

-       Setelah sampai, pilih peralatan rafting yang pas dan nyaman dipakai.

-   Sebelum rafting pakai sunblock, lalu saat rafting disarankan memakai kaos lengan panjang, celana pendek, dan sendal gunung.

-       Perhatikan instruktor dengan cermat.


-      Kalau di tengah rafting tiba-tiba instruktor menyuruh kita berhenti dan mendaki salah satu tebing lalu kita disuruh lompat dari tebing (Ya ya...serem sih buat yang takut ketinggian), tapi...lompat aja. Sayang kalau nggak lompat, kan udah jauh-jauh. Ini salah satu bagian paling serunya.

Semoga ada manfaatnya walau dikit banget ^^

First Trip to Singapore

Kalau tentang Singapore pasti kebanyakan udah pada ngerti gimana di sana dan yang pasti udah banyak blog traveling yang ngebahas lengkap tentang negara tetangga yang satu itu. Jadi di sini saya poin-poinkan aja.

Yang Penting Kalau Udah di Sana:

-     Jalan-jalan malam ke Merlion. Patung setengah singa setengah duyung yang jadi maskot Singapore itu ternyata nggak gede-gede amat. Di deketnya juga ada replikanya yang menurut saya nggak penting juga. Mungkin Singapore banyak duit jadinya nggak masalah hambur-hambur buat pemborosan. Hunting foto di deket Merlion disarankan pada malam hari. Efek-efek lampunya dapet (buat yang suka efek-efekan lampu macam saya yang nggak pro banget ini).

Editan ngasal.

Pemandangan malam.

Lampu dan lampu di mana-mana.

-      Sempatin jalan-jalan malam juga di sepanjang Riverside. Banyak resto pinggir sungai di sana. Kebetulan saya ada kesempatan buat nyobain makan di salah satu resto, namanya Forum Seafood, yang ternyata ratingnya jelek banget di kalangan traveler L Dan beneran, kualitas bahan udah bagus, tapi taste nya bener-bener seadanya. Nggak sesuai sama predikat resto mahal yang harusnya menyajikan hidangan lezat. Tapi nggak apa-apa, karena udah nyobain, besok-besok nggak perlu mampir lagi. (Maaf, ini harusnya masuk ke poin do not to do).

Banyak resto di sepanjang pinggiran sungai.

Hindari untuk mampir di Forum Seafood.

Rasa bebeknya nuansa "krik...krik..." Kurang sedap.

Udangnya enak. Udangnya doang, bumbunya kurang sedap juga.

Ini lagi... Kalau Si Mama nyobain pasti cuma ngelus dada.

-       Belanja di Bugis Street. Belanja murah, belanja puas, belanja sampai kantong kering.
-       Yang mau mampir ke Universal Studio, ke Marina Bay, ke Singapore Flyer, dan lain-lain...mampir gih. Saya belum ke sana, soalnya cuma semalam di Singapore. Hikss... T.T Next time, semoga ada kesempatan.

Jumat, 04 Oktober 2013

First Trip to Vietnam

Ini tulisan saya yang pertama tentang jalan-jalan, dan karena yang pertama, saya juga akan memulainya dengan negara pertama yang saya kunjungi. Vietnam. Vietnam bisa dibilang salah satu tempat tujuan wisata yang nggak terlalu populer di mata masyarakat Indonesia. Popularitasnya masih kalah sama Singapore dan Hongkong. Tapi saya bersyukur dapat mengunjungi negara tersebut, dan ternyata banyak tempat bagus di sana. Apalagi Vietnam bekas jajahan Prancis, jadinya banyak bangunan bagus. Nggak lama-lama, langsung aja.

Yang Penting Kalau Udah di Sana:

-     Sebelum jalan-jalan, cari peta kalau udah nyampe di penginapan. Sebelumnya udah pasti browsing-browsing dulu, tapi lebih baik lagi kalau setelah di sana kita minta peta dan nanya-nanya tempat yang bisa dikunjungi ke pegawai penginapan. Kali aja ada rekom unik dan sebagainya.

-   Hati-hati dengan pedagang yang tiba-tiba melambungkan harga jualannya. Nggak tanggung-tanggung, air mineral bisa dua sampai tiga kali lipat dari harga normal.

-       Hati-hati kalau lagi jalan kaki. Lalu lintas di sana kacau balau, lebih kacau dari yang ada di Indonesia. Jangan kaget kalau dalam sehari aja bisa jadi saksi mata dua sampai tiga kecelakaan. Juga jangan kaget kalau lihat orang-orang di sana nggak ada satupun yang pakai helm standard, menurut pemerintahnya justru mengganggu kenyamanan berkendara (kayaknya sih...)

Motor di sana juga jadul-jadul. Kebijakan pemerintahya juga mungkin.

-     Kalau mendadak banyak anak kecil yang tanya-tanya dan ngerumunin kalian dengan tingkah yang rada caper, tenang aja. Mereka bukan peminta-minta atau disuruh ortunya. Anak-anak di Vietnam memang terbuka sama turis asing, keingintahuan mereka juga gede banget. Mereka juga seneng kalau diajak ngobrol pakai Bahasa Inggris, meskipun kalau ngejawab banyak gagoknya. Dan jangan sekali-kali ngasih mereka duit, mereka bakal nolak mentah-mentah. Anak-anak Vietnam juga nggak gampang terima kalau dibeli-beliin jajan. Mereka sopan banget.

-    Tentukan simple thing to do kalian. Misalnya, temen saya Bibie harus beli coke di setiap negara yang dia kunjungi dan bawa balik ke Indonesia, buat koleksi aja. Nah kalau temen saya Titi, dia harus nyobain beer lokal di setiap negara yang dia kunjungi, di Vietnam ada Saigon contohnya. Kalau saya, saya selalu beli cendra mata dan bendera mini di setiap negara yang saya kunjungi. Keuntungannya kalau rame-rame, simple thing to do temen-temen jadi bagian dari kita juga. Ya’ll know what I mean...

-       Nyobain seafood noodle nya Pho 2000. Sumpah sumpah sumpah, enaaakkk banget! Kaldu seafood nya gurih, rasanya seger agak kecut-kecut dengan manis yang tipis, terutama juga aroma local herbs yang kuat, yang jadi ciri khas masakan Vietnam. Dua hari berturut-turut saya makan di restoran ini dengan memesan menu yang sama, seafood noodle dan rice with grilled pork. Dua-duanya yang paling enak. Restoran Pho 2000 pernah didatengin mantan Presiden Amerika, Bill Clinton, dan jadi salah satu restoran favorit beliau.

Favoritnya Bill Clinton, porsi gede!

Kalau di jalan nemu tempat kayak gini, buruan masuk!

Foto Bill Clinton dipajang segala buat ngeyakinin pengunjung.

-    Mampir ke Notre Dame Cathedral di Ho Chi Minh, salah satu Gereja Katolik yang terkenal di Vietnam. Di sekitar komplek gereja ada kantor pos tua gede yang juga jual-jual souvenir, banyak turis asing yang beli kartu pos di sini untuk dikirim langsung ke rumah mereka. Jadi pas mereka nyampe rumah, kartu pos bisa nyusul, dan kalau lihat kartu pos itu pasti memori tentang Vietnam makin kerasa.

Di depan Notre Dame nya Vietnam yang sering dipakai buat foto-foto prewed.

Sisi luar kantor pos.

Di dalamnya kantor pos.

-   Kemana-mana jalan kaki. Jangan males jalan kalau di Vietnam. Saya sebenernya pemalas, tapi terbukti dengan jalan kaki suasana Vietnam jauh lebih ngena. Bisa mampir ke tempat makan pinggir jalan yang enak-enak, ngobrol sama orang Vietnam, nemu tempat hunting foto keren, dan lain-lain.

Kalau jalan kaki bisa nemu yang gini-gini nih:





Itu aja tentang Vietnam, selebihnya nggak perlu dijelasin pakai kalimat panjang lebar. Pokoknya kalau ada kesempatan ke sana bakal ngerti sendiri gimana asyiknya. Satu yang pasti, pelajaran dari film Into The Wild, seasyik-asyiknya nge trip, paling asyik kalau nge trip rame-rame bareng temen deket. Jangan sendirian!

Poor Weather


“Poor weather! Poor weather!” said the brother.
The brother who scare with fall, small, and the haunted growl.
On the bench their big bear sleep in tigh, in light, all roar.
But the other brother never bored to laugh, to the weather.
“Poor weather! Poor weather! Poor me down!”
Madness...
“I said stop!” said the little sister.
“I said your eyes about to pop out!”
Oh the weather, find the hidden breeze, far to the sea.
Find now! Or I’m about to sneez.
Oh but I can’t sneez, because the weather.
“Yes the weather...” The big sister come to lead.
I heard the weather changed, people changed.
The playground changed.


(18:25 WIB. Jumat, 4 Oktober 2013)


Saat ini saya mulai jarang melihat anak-anak bermain hunjan-hujanan. Bukan karena anak-anak tak suka bermain hujan, tetapi karena hujan semakin jarang datang. 

Olette and the Unlucky Boy Lil-Rou



Mari bertemu dengan Olette. Banyak kesialan di dunia ini, tapi bagi anak-anak di North Barnabas School mungkin kesialan yang paling buruk adalah kesialan yang dialami oleh Olette Winscliff. Semua berawal dari seorang anak bernama Lil-Rou. Lil-Rou punya segudang masalah dalam hidupnya. Tidak ada seharipun yang Lil-Rou lewatkan tanpa menangis, padahal dia anak laki-laki. Di sekolah, Lil-Rou sering dimarahi guru. Bukan karena dia tak pernah mengerjakan PR atau karena dia sering tidur di kelas, tetapi karena Lil-Rou itu bodoh. Bodohnya tak tertolong. Meskipun Lil-Rou bodoh, anak-anak di North Barnabas tidak ada yang menjauhinya.
Hanya sedikit anak yang tahu mengenai latar belakang Lil-Rou. Orang tua Lil-Rou bercerai sejak dia kecil. Ibu Lil-Rou menganggap anaknya tak berguna, sementara ayahnya lebih parah lagi, dia bilang Lil-Rou itu salah satu “Jenis Individu yang Tidak Kompeten dalam Hidup”. Mendengar itu jelas saja Lil-Rou semakin depresi. Akhirnya dia jadi sering mencoba bunuh diri.
Berbagai cara telah Lil-Rou lakukan. Dia pernah menyetrum dirinya sendiri dengan peralatan sains di kelas Fisika, menyilet pergelangan tangannya saat kelas Biologi, pernah juga meminum beberapa cairan beracun di kelas Kimia. Tapi sayang, semua gagal. Lil-Rou putus asa, dia hanya mau mati. Sementara kematian, ternyata tidak semudah yang dia pikirkan.
Hingga pada suatu hari, Lil-Rou berpikir lebih ekstrim lagi. Dia naik ke lantai paling atas sekolahnya. Naik, naik, dan naik. Setelah sampai di atas, Lil-Rou memasang kuda-kuda untuk melompat. Lalu...”HOP!” Dia melompat sungguhan.
Sekali lagi niat Lil-Rou untuk bunuh diri gagal. Bukannya menghantam tanah dan mati, Lil-Rou justru menimpa seorang anak laki-laki bernama Olette yang sedang berjalan riang menuju kantin sekolah untuk makan siang. Sudah kubilang kan, kesialan Olette Winscliff adalah yang paling buruk.
Hari itu Olette mendapatkan nilai sempurna pada tiga ujian sekaligus. A+, sempurna. Dan lagi, besok dia akan berulang tahun yang ke empat belas. Kedua orang tuanya sudah memesan kue dan teman-temannya sudah mempersiapkan kejutan.
Sungguh malang nasibnya. Mulai saat itu dia harus menjalani kehidupan yang bertolak seratus delapan puluh derajat dengan kehidupannya yang dulu. Olette Winscliff tidak bisa kemana-mana selain berdiri di kuburannya. Orang-orang tidak bisa melihatnya, mendengarnya, maupun merabanya. Padahal Olette ada di sana, berdiri di dekat kuburannya yang masih basah. Dia mau saja menghantui lalu mencekik Lil-Rou dan menyalahkan bocah tengik itu karena menyebabkan semua masalah ini, tapi Olette seperti dikutuk Tuhan. Dia hanya bisa diam, meratap, dan mengumpat.
Tahukah kau kenapa Olette mengalami kesialan macam itu? Aku mungkin kurang berhak bercerita panjang lebar, tapi telingaku tidak salah dengar saat Olette tertawa di suatu pagi yang cerah saat kelasnya belum dimulai.
Ahahaha, aku orang paling beruntung sedunia! Dengar baik-baik semuanya! Aku adalah orang yang paling beruntung! Jangan dekat-dekat denganku kalau nilaimu tak sebagus nilaiku, kalau penampilanmu tak sekeren penampilanku! Aku orang paling beruntung! Jangan dekat-dekat denganku kalau kau tak seberuntung aku!
Temanku pikir aku ini malaikat pencabut nyawa paling malas yang pernah ada. Meski begitu, malaikat pencabut nyawa paling malas sekalipun akan semakin bersemangat bila ada seseorang yang tertawa-tawa dan berbicara keras dengan nada sombong, seolah sedang menantangnya. Dan aku suka ditantang.
Kubuat ‘Olette Winscliff yang Selalu Beruntung’ mengalami satu kesialan saja dalam hidupnya. Poof! Aku menang telak.
-THE END-

Kamis, 03 Oktober 2013

Lantang



Jangan alihkan pandanganmu.
Tenang...
            Ya.
Tetap lurus.
            Ke depan, ke arah gadis berambut ikal itu.
Namanya Akarina.
Nama yang aneh, namun begitulah mereka menamainya. Kau sendiri tidak ada waktu untuk menertawakannya seperti teman-teman kalian di SD yang selalu saja menganggap lucu nama tersebut, atau teman-teman SMP kalian yang biasa memangggilnya Si Akar-akaran entah untuk alasan apa.
Padahal namamu lebih aneh lagi.
Kau tak peduli, kau terbiasa mengagumi ketimbang memaki.
Meski demikian, kau lebih suka memanggilnya Kana.
       Kau sudah lama sekali mengenalnya, bahkan jauh...jauh sebelum kau bisa mengeja namamu sendiri dengan baik dan benar. Rumah kalian berhadap-hadapan. Bukankah itu kebetulan yang menyenangkan?
Kau juga hapal betul aroma rambutnya yang manis. Itu sudah pasti, karena kalian sering bermain kemah-kemahan bersama. Kau dan Kana, kalian berdua sama-sama menyukai semak belukar, sama-sama suka menerbangkan layang-layang di siang hari yang berangin...sama-sama suka duduk di halaman depan rumah dan saling lempar bom air yang dimasukkan ke dalam balon, saling mengirim kode morse dengan senter di malam hari untuk memamerkan keterampilan kalian setelah mengikuti PRAMUKA. Kalian banyak menghabiskan waktu bersama.
“Terlalu banyak malah” Kana yang bilang.
Tidakkah kau ingat? Kau pernah tersenyum dan berkata padanya, “Lebih lama lagi lebih bagus. Justru mauku lebih lama lagi...”
           Ketahuilah, Kana juga berpikiran sama denganmu.
           Dia ingin bersamamu lebih lama lagi, dan ini bukan main-main. Bukan ‘bersama’ seperti yang sudah kalian lakukan sepanjang sembilan belas tahun terakhir, tetapi ‘bersama’ seperti yang ada pada khayalanmu, pada khayalannya. Kau pasti mengerti.
           Jadi, katakan saja. Lakukan sekarang.
        “Rando! Hello! Di sini!” Tidak seperti yang lain, dialah satu-satunya orang yang berani memanggilmu Rando, sedikit bagian yang harusnya membuatmu muak, tapi karena Kana yang memanggilmu, kau tak pernah lebih bahagia dari ini. “Ya ampun...kalau kamu cuma diem, nggak ngomong apa-apa dan ngeliatin aku terus, mending aku pergi.”
           “Kana...nikah. Mau kan?”
        “Hah? Uhuk! Uhuk! Apa? Nikah? Jadi suami-istri maksudnya? Tinggal serumah, punya anak, ganti panggilan ma-pa atau yah-bun dan nggak lagi panggil nama masing-masing, gitu? Kita kan masih kuliah!”
          “Nggak mau ya?”
          “Hhh?”
          “Nggak mau? Nggak suka?”
          “Menurut kamu?”
          “Apanya?”
          Lalu dia menciummu. Tepat di bibir. Kau tak pernah merasa seberuntung itu sebelumnya.
       Kana memang begitu, dia gadis paling spontan yang pernah kau kenal. Sekalipun kau sudah berpengalaman mencium bibir gadis-gadis lain, dia akan selalu bisa membuatmu tertegun seolah itu adalah ciuman pertamamu. Tetapi memang iya, itu ciuman pertamamu dengannya.
       Kau lihat kan? Dia mencintaimu. Mungkin kau tak pernah tahu rahasianya, bahwa dia diam-diam selalu mendoakanmu di malam hari. Sebelum beranjak ke ranjang, dia akan berbicara dengan Tuhan. Doanya singkat, doa yang sama sejak dia duduk di bangku kelas 3 SD, agar kau diberi kebahagiaan oleh Tuhan, dan...agar kau tak lagi memiliki gumpalan kabut dalam hatimu.
    Sayangnya Tuhan punya rencana lain, Tuhan membiarkanmu melihat tubuh Kana dimasukkan ke dalam lubang di tanah. Kau berteriak, meronta, menangis keras, seperti anak kecil tak berdaya yang ditelantarkan seorang diri di tengah padang pasir yang gersang.
Kalau kau mau, kau bisa saja memilih untuk jadi gila, bukankah kau sudah pernah hampir gila sebelum ini? Tapi ternyata pikiranmu yang sehat tak seputus asa hatimu yang sudah sakit dan hampir berkabut lagi. Kau memilih untuk tetap waras.
Mana kau tahu kalau saat itu bukan hanya jiwa Kana yang ikut lenyap, ada jiwa lain yang ikut bersamanya, yang tak pernah kau pahami, karena menurutmu kau masih terlalu muda.
Apa kau siap? Mulai sekarang...apa kau siap?
Dengarkan baik-baik.
Apa kau siap dibenci Tuhan?
RANDOWAGE ASKABRATA! Apa kau siap dibenci Tuhan seumur hidupmu?!
***
-THE END-



Yamaraj

illustration by Sveta Dorosheva

Dum! Pletak!
Dudum! Pletak!
Dum bergendum-gendum yang merah dan berdarah-darah.
Yang kau bilang kerak, akulah yang kerak.
Yang kau bilang langit, ya akulah yang di langit...

        Bau busuk masuk ke dalam lubang hidungku dan mencekik tenggorokan dengan kekuatan yang melebihi dorongan tangan. Aku tahu itu bau busuk, tapi yang ini berbeda, yang ini membuatku ingin muntah hingga menarik keluar semua organ dalamku untuk kucuci bersih dengan air sungai bening, agar bau itu benar-benar bersih dan tidak menempel.
 Kata orang, manusia bisa menyesuaikan diri dengan kondisi sekitarnya setelah membiasakan semua inderanya bekerja selama beberapa menit. Seperti di kegelapan, awalnya akan terasa sangat gelap jika tiba-tiba mati lampu, namun lama-kelamaan mata kita akan terbiasa dan meskipun pengelihatan tidak begitu baik, setidaknya indera yang lain bekerja dan mampu membuat kita meraba-raba.
 Di sini berbeda. Kalau saja indera penciumanku mampu melontarkan kata-kata sepertiku, mungkin mengumpat adalah hal pertama yang akan dilakukannya. Sama sepertiku yang dengan mudah mengumpat pada kubangan-kubangan keruh setelah hujan berhenti ataupun pada bunyi sombong klakson-klakson di tengah jalanan macet.
 Kasihan hidungku. Sungguh kasihan.
 Lebih dari hidungku, aku justru mulai prihatin dengan diriku sendiri. Keprihatinan ini bukan tanpa alasan, di hadapanku berdiri seekor, ya benar, se-e-kor, sapi, tunggu...atau mungkin kerbau, atau entah itu lembu atau manusia berkostum setengah-setengah, antara sapi, kerbau, dan lembu. Oke, anggap saja itu kerbau, karena dia bertanduk. Aku tidak tahu kebenaran pengelihatanku, yang pasti apa yang kulihat di depan mataku itu agak menjijikkan. Aku berhak menggunakan kata ‘menjijikkan’ walaupun kerbau itu memakai semacam kain putih yang digunakannya sebagai celana. Celana seadanya.
Jika penjelasanku ini belum terdengar kurang waras, biar kutambahkan lagi satu hal. Aku tidak bohong, tapi kerbau itu berdiri, dengan dua kakinya! Dia memakai celana dan bisa berdiri. Nah, sekarang tak perlu kujelaskan kembali kenapa itu kusebut menjijikkan. Maksudku, itu seekor kerbau bercawat yang bisa berdiri!
Badan Si Kerbau berbulu putih, meski begitu dia mengeluarkan bau yang amat...sangat, melebihi bau batang tikus, kalikan seribu, bau. Dia sangat bau. Jadi aku menarik kesimpulan bahwa yang melekat di tubuhnya itu bukanlah kostum kerbau yang tidak dicuci berminggu-minggu, melainkan kulit kerbau putih yang memang baunya keterlaluan.
“Mooo... Mooooo...” Si Kerbau melenguh.
Aku berusaha untuk tidak melakukan kontak mata dan untungnya saat ini kondisiku sedang digantung terbalik, membuatku tidak dapat melakukan kontak mata dengan makhluk itu. Syukurlah. Pria sepertiku tahu kapan waktunya bertindak jantan dan kapan untuk diam saja supaya selamat.
Aku tidak ingat siapa yang mengikat kakiku dengan tali dan siapa juga yang menggantungku di tempat ini. Lagipula, tempat apa ini? Seingatku aku sedang melakukan ekspedisi di Nepal bersama kru dari sebuah majalah petualangan alam terkemuka dari Amerika. Setelah tiba di Tibet, kami beristirahat sebentar di sebuah rumah milik penduduk lokal, rencananya enam hari kemudian kami akan memulai pendakian di Himalaya.
Pemilik rumah tempat kami tinggal menawarkan tur gratis ke Kathmandu Valley, kami pun setuju, mengingat tempat tersebut memang menjadi salah satu tujuan wisata wajib di Nepal. Dan...sepertinya hanya sampai di situ ingatanku berhenti. Selebihnya berupa potongan-potongan kabur antara tersesat, cahaya keemasan, dan ingatan-ingatan kecil yang membekas dari cerita seorang biksu tua mengenai makhluk-makhluk mistis penjaga Nepal. Lalu di sinilah aku. Berkutat dengan bau busuk.
“Mooo...mooo... Makan malam, mooooo...” Si Kerbau mengambil sebuah belati perak dan mengacung-acungkannya ke atas sambil melenguh gembira. Aneh, aku seolah mengerti bahasa Si Kerbau begitu saja.
Ini menyedihkan. Mimpi ini menyedihkan...
Setidaknya aku tidak sendiri kalaupun mimpi buruk ini sungguhan. Kulihat teman-teman ekspedisiku juga tergantung terbalik di berbagai tempat. Ada yang di ujung ruangan, ada yang di sampingku dalam keadaan yang aku tak ingin tahu dia pingsan atau sudah mati, ada pula yang tergantung tepat di depanku. Kami semua seperti tuna-tuna raksasa di tempat pelelangan ikan yang masih segar dan siap didistribusikan.
“Duruduuu...hari ini makan besar, setelah setahun menunggu. Hmm...duruduuu... Nyam, nyam...” kata seekor tuna. Benar-benar ikan tuna! Dia muncul dari balik ruangan gelap seraya bergumam dengan nada riang. Kedua bola matanya yang bundar besar berair seperti sedang menangis, tapi dari sinar wajahnya yang kelewat cerah, aku tahu bahwa dia sedang menikmati suasana di sekitarnya.
Ya Tuhan, aku tidak akan berbicara yang aneh-aneh lagi. Si Kerbau sudah cukup menjijikkan, sekarang ada seekor tuna dengan dua tangan dan dua kaki yang bernyanyi riang seolah hari ini adalah ulang tahunnya. Tempat penyiksaan macam ini sesungguhnya lebih mengerikan dari neraka, dan meski aku belum pernah ke sana, aku berharap agar tempat ini tidak menginspirasi para arsitek neraka kelak.
“Ahaaa! Ahaaa! Aku membawa lagi satu buruan untuk makan malam kita! Wanita tua yang tersesat, semakin lama semakin bagus, kaldu akan semakin sempurna!” Sebuah kepakan sayap terdengar, diiringi oleh suara tawa melengking. Makhluk lainnya turun, kali ini seekor angsa putih. Angsa itu menurunkan seorang wanita tua berambut kelabu acak-acakan. “Cepat! Siapkan air panas!”
Si Angsa mungkin adalah makhluk dengan penampilan paling normal di sini. Dia hanya terlihat seperti burung biasa. Burung yang baik hati malah. Sayangnya itu semua tipu muslihat. Tidak ada burung angsa di dunia ini yang nampak antusias menjadikan seorang wanita tua sebagai kaldu supnya.
Si wanita tua tidak bicara apa-apa, dia meringkuk di lantai bermarmer hitam segelap langit malam, sewarna dengan jiwanya yang ketakutan, yang dalam hati tak rela dilahap oleh tiga makhluk keji di sekelilingnya. Mungkin ini sudah takdirnya, tak ada lagi daya upaya. Mungkin dewa memang sedang beeristirahat sejenak dan sengaja tidak mempedulikannya. Mungkin...mungkin ini ajalnya.
Malangnya wanita tua itu.
Malangnya kami.
Mendadak Si Kerbau, Si Tuna, dan Si Angsa menyeret Si Wanita Tua ke dalam ruangan gelap yang ada di sebrang. Ruangan itu berpintu kayu, dan sepertinya kayu yang menempel adalah pohon yang sedang bertumbuh. Di balik pintu itu besar kemungkinan adalah dapur. Menarik. Sekarang bukan hanya diriku saja yang tampak memprihatinkan. Seluruh peristiwa dan tempat ini tampak memprihatinkan, tetapi kalau lama-lama dipikirkan justru malah berubah konyol.
Sedang apa kami di sini?
Pasti ada alasan kenapa kami di sini?
Belum selesai aku bertanya-tanya, aku mendengar suara bersahut-sahutan sedang bernyanyi, menyanyikan semacam lagu anak-anak dengan soneta yang riang gembira. Aku penasaran dengan apa yang sedang terjadi di sebrang sana, di dalam ruangan gelap tempat para makhluk itu berpesta.
“Dum! Pletak!”
“Dudum! Pletak!”
“Dum bergendum-gendum yang merah dan berdarah-darah.”
“Yang kau bilang kerak, akulah yang kerak.”
“Yang kau bilang langit, ya akulah yang di langit.”
“Kahyangan tidak indah.”
“Langit berbunyi dum durudum pletak!”
“Di sini kami mengaduk-aduk merah dan berdarah-darah.”
“Jangan berhenti di sini, di sini kami yang beraksi.”
“Jika kau mendengar gemuruh dum bergendum-gendum.”
“Menyanyilah.”
“Menyanyilah selagi kami memasak.”
Semoga Tuhan memaafkan dosa-dosa manusia sepertiku, yang terlena dengan gemerlapnya dunia.
“Psst! Morpheus! Hei! Kau belum mati, bukan?”
Aku dengan segenap tenaga yang tersisa berusaha mendongak. Fotografer asal Kanada bernama Rodson Sharven di sampingku yang tadinya kukira mati ternyata masih hidup dan cukup kuat untuk mengayun-ayunkan badannya ke kiri dan ke kanan, mencoba membangunkan yang lain.
“Rodson! Kita harus keluar dari sini!” seruku.
“Jangan asal bicara!”
“Aku tak peduli! Aku hanya ingin pulang dan minum wine!”
“Ssst! Tidak bisa Morph! Lihat sekelilingmu. Lihat, tidak ada jalan keluar!”
“Harus ada!”
“Bodoh kalian” sahut sebuah suara dari sisi kananku. Itu adalah Jeff Richardmore, seorang bilyuner Texas yang sudah sering mengikuti berbagai ekspedisi. “Tidakkah kalian ingat apa yang terjadi? Seorang biksu tua bercerita pada kita tentang kuil Pangboche di daerah pegunungan terpencil Himalaya, dia bilang kuil itu menyimpan sebuah tangan aneh yang dipercaya sebagai tangan Yeti. Kita jadi penasaran dan bersikeras pergi lebih awal untuk mendaki Himalaya! Kita terkena longsoran salju! Kemudian kita tak sadarkan diri dan berada di sini! Tahukah kalian apa artinya? Ini semua telah direncanakan! Kita memang diarahkan kemari! Untuk dijadikan santapan dewa-dewa mereka! Tidak ada jalan keluar!”
Aku mendelik, kerongkonganku yang kering kini seperti dialiri kerikil-kerikil kecil. Sulit rasanya berkonsentrasi sekaligus menyampaikan pendapatku, atau yang lebih tepat keluhanku, dalam keadaan seperti ini. “De...uhuk uhuk!” aku tersengal. “De...wa?”
“Ya! Penduduk Nepal percaya bahwa sapi atau kerbau adalah hewan suci. Mereka bahkan memiliki sebuah festival bernama Gai Jatra yang berkaitan dengan hewan suci itu. Ingat kembali, saat berada di Kathmandu kita menyaksikan festivalnya, karena jalan utama di sana memang digunakan sebagai rute festival.”
“Kau benar! Aku ingat, Jeff!” Rodson menyiyakan. “Dan festival itu adalah untuk memuja Yamaraj! Dewa...”
“KEMATIAN!” pekik kami bertiga spontan.
Aku dan kedua teman ekspedisiku yang selamat tidak akan melupakan hari-hari dimana kami tersesat dan terjebak di rumah dewa. Di sana tidak seindah dan seglamor yang manusia pernah bayangkan, tentang apa itu yang disebut kahyangan. Setidaknya begitulah kesanku mengenai salah satu rumah dewa yang tidak sengaja kami kunjungi. Entah seperti apa rumah dewa-dewa yang lain, aku hanya tahu bahwa rumah dewa yang pernah kulihat penuh dengan kengerian.
Aku tahu mereka tidak bermaksud jahat, mereka hanya melakukan apa yang sudah seharusnya mereka lakukan tiap tahun. Mengisi perut. Kalaupun apa yang mereka santap kurang manusiawi, itu bukan pilihan mereka. Terkadang aku justru merasa kitalah yang bertindak sebagai orang jahatnya, bahwa manusialah yang terlalu sombong dan kurang manusiawi. Kita bebas melakukan apapun sesuka hati, berjalan kesana-kemari menggunakan sesuatu yang kita bangga-banggakan bernama akal, menyantap hewan apapun setiap hari, setiap tahun, setiap waktu. Tanpa rasa bersalah, terkadang tanpa pula rasa syukur. Kita hanya bisa makan dan makan. Kemudian hal buruk terjadi, kemudian kita menyalahkan yang lainnya. Lupa bahwa kita sendiri merupakan makhluk terkejam di muka bumi.
Banyak orang yang tidak mempercayai kisahku. Mereka bilang aku ini pembual. Tak apa, aku yakin semua misteri akan menjadi lebih menarik jika tetap berada tipis di antara realitas dan kebohongan. Tentang bagaimana cara kami selamat, itu adalah misteri kami bertiga. Bohong atau tidak, Rodson dan Jeff tahu pasti bahwa akulah yang menyelamatkan nyawa mereka, dan katakan saja mereka berhutang besar padaku. Sangat besar.
Si Kerbau, Si Tuna, dan Si Angsa, tiga makhluk itu menungguku kembali mendaki Himalaya untuk yang kedua kalinya. Jika waktu itu tiba, itu berarti jalanku sudah benar dan aku tak lagi menjadi orang yang doyan makan segala. Ya. Itulah saat yang tepat untuk mendaki Himalaya. Itulah saat yang tepat bagi mereka untuk memulai makan malam terbaiknya.

 -THE END-


Tantangan menulis #absurd @JiaEffendie