Kamis, 03 Oktober 2013

Satu dari Sekian Banyak Pendosa di Dunia



“This could be a movie, this could be a final act.
We don’t need this happy ending...”-Funeral For A Friend.

Semalam aku bermimpi genangan air mencaciku, mereka begitu memuakkan dengan wajah getir menatapku tersungkur di balik kabut trasparan yang beracun, sungguh membuatku sesak. Mereka tertawa dan terus tertawa, kemudian melontarkan kata-kata terburuk yang dapat mereka temukan tentang bagian dari diriku yang paling gelap, sementara aku tak dapat berhenti memperhatikan bentuk mereka yang jelek-jelek dan coklat keruh itu dalam kepasifan. Sial! Mereka semua jelek tapi masih saja menertawakanku! Ya, genangan air setelah hujan deras mengguyur, mereka semua jelek...
Dulunya aku pernah terpesona melihat genangan air di pinggiran jalan, walaupun tak ada yang peduli pada mereka, walaupun mereka jelek, setidaknya mereka merefleksikan warna dunia. Entah itu hitam pekat, atau putih bersinar, yang jelas tidak ada kebohongan. Tapi dulu, sekarang mereka kelam, seolah-olah membuatku bercermin pada kematian.
            Beberapa orang di luar sana mungkin sedang sibuk membicarakan bagaimana definisi orang beruntung. Apakah beruntung itu ketika seseorang terhindar dari kesialan, apakah beruntung itu ketika segalanya dapat dimiliki, ataukah...beruntung itu tak lebih dari sebuah kata yang mendeskripsikan kemampuan seseorang untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik dengan cara-cara tak terduga, mungkin juga beruntung bukanlah hal yang cukup menarik diperbincangkan ketimbang masalah-masalah sosial di negara ini semacam kemiskinan terstruktur karena shared poverty. Terserah, apapun itu, karena satu-satunya definisi beruntung yang Rama tahu dalam hidupnya adalah ketika manusia benar-benar moksa, lenyap dari dunia.
          Rama menginjak puntung rokoknya di aspal, itu adalah rokok keempat yang dia hisap. Dia pecandu rokok parah sejak duduk di bangku kelas 3 SMP. Kalau saja paru-parunya diberi jiwa dan dapat hidup serta berbicara, hal pertama yang terucap pastilah “bangsat!” sama seperti pertama kali Rama tersadar untuk mengatakan kata itu dengan lantang di tengah-tengah kerumunan manusia pada minggu pagi yang cerah empat hari yang lalu. Perban di telinga kiri Rama sedikit terbuka, tapi dia tak menghiraukannya, sekalipun rasanya amat perih.
          Udara malam semakin menusuk masuk lewat tengkuk, Rama menggigil di balik seragam abu-abu putihnya yang sudah agak lembap. Tetapi tetap, dia tak beranjak, hanya berdiri diam di sudut gang sempit yang remang-remang. Lampu kendaraan yang berseliweran di seberang jalan hanya sedikit memberinya penerangan.
         Di sepanjang gang sempit itu tak ada orang lain lagi selain Rama, sepertinya memang tak ada yang sudi untuk lewat, terutama karena sekarang sedang musim penghujan. Lampu-lampu neon yang seharusnya menerangi tidak berfungsi, jalanan gang yang hanya selebar dua meter juga becek. Menyedihkan. Apalagi bau sampah busuk dari selokan, ditambah kawanan tikus yang berlarian sambil meninggalkan kotoran, lengkap sudah. Tapi Ramadigda Esa rela, bahkan jika dia harus pergi ke tempat paling menjijikkan sekalipun, tempat seburuk apapun, untuk satu malam terbesarnya.
         Dari jauh muncul sesosok pria bertubuh kurus tinggi berjalan menghampiri Rama, usianya dua puluh limaan, tapi dia terlihat sepuluh tahun lebih tua lantaran penampilannya agak lusuh dan rambut tipisnya yang tumbuh di sekitar dagu tidak dicukur, dia juga memakai jaket berbahan kulit yang nampak murahan. Walaupun begitu dia sangat berhati-hati dengan sesuatu yang tersembunyi di balik jaketnya.
           “Nunggu lama ya?”
           Rama menjawab dengan gelengan kepala, raut wajahnya dingin.
           “Terus, duitnya?” pria berjaket kulit itu mengangkat alis.
           “Udah gue transfer” tukas Rama singkat, sebenarnya dia tidak ingin bicara sama sekali, buang-buang tenaga menurutnya.
Padahal Rama baru berusia tujuh belas tahun, tapi dia sudah berani menunjukkan ketidakseganannya pada pria itu.
            Si pria mengangguk senang, “Bagus, bagus kalau gitu...”
            “Mana barangnya?”
            “Kenapa harus buru-buru?”
            “Lo nggak perlu tahu” jawab Rama tak ingin basa-basi, dia harus bergegas!
       “Oke, gue bisa ngerti” si pria mengeluarkan sebuah bungkusan dari balik jaket dan menyerahkannya pada Rama. “Nih! Lo boleh pakai sesuka hati, milik lo sekarang. Tapi ingat, jangan bawa-bawa  nama gue! Paham?”
         Rama menatap benda yang terbungkus plastik transparan di tangannya, ada senyum putus asa namun penuh keyakinan di sudut bibirnya. Dia hampir sampai, perjalanannya kurang beberapa kilo lagi. “Gue nggak goblok” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun dari benda itu, tatapan matanya berubah antusias.
          “Elo ngerti cara makainya kan?”
         “Heh, gue nggak butuh buku panduan kalau cuma buat makai beginian” Rama pun segera berbalik untuk berjalan pergi meninggalkan pria itu. Urusannya sudah selesai, batinnya.
        “TUNGGU!”
       Spontan Rama menghentikan langkah sambil menendang bangkai tikus yang menghalangi jalan dengan sepatu converse putihnya. “Apa lagi?” tanyanya gusar.
    “Elo kan masih sekolah,” kata si pria berjaket dengan nada bicara sedikit berkelakar. “Emang lo nggak takut?”
        “Sama siapa? Polisi?” Rama tak mau kalah, diapun nyengir mencemooh.
        “Bukan, bukan...bukan polisi. Lo nggak takut sama Tuhan?”
       “Tuhan?” Rama diam sejenak, tertegun. Mendengar nama itu dia tidak punya pilihan lagi selain menghela napas, seakan-akan ada kelegaan yang muncul diimbangi rasa sesal, bahwa selama hidupnya, tujuh belas tahun hidupnya, orang pertama yang menanyakan pertanyaan semacam itu justru seorang pecundang dua puluh lima tahun tak berguna, penjual drugs dan barang gelap seperti pria di depannya. Salah satu titik noda bangsa yang tidak memiliki arti sedikit pun untuk dunia yang terlalu menuntut banyak ini. Orang itu, beraninya dia. “Itu...gue belum punya” timpal Rama sambil tersenyum kecut. “Gue belum mau” diapun melangkah pergi.
***

I feel like a deadman walking. Keep walking, keep walking, and walking every single day...with no reason. I’m deadman walking, I’m ghost, I’m invisible, I’m nothing... But I’m here, I’m alive, I’m  a part of this amazing universe.
What a shame?
Ada seorang ilmuan yang mengatakan bahwa religi itu dimulai dengan munculnya rasa sadar dan takut akan maut. Kematian. Pertanyaan-pertanyaan ‘apa yang akan terjadi setelah manusia mati’ menjadi misteri terbesar dalam hidup semua orang. Lalu muncul perkembangan pemikiran atas pertanyaan itu, tentang ‘apa yang membuat manusia ada di bumi dan siapa yang bertanggung jawab untuk ini.’ Selanjutnya muncul Tuhan, muncul surga karena adanya segala kebaikan, dan...yang lebih buruk lagi, muncul neraka, muncul iblis, kejahatan, rasa benci, iri, amarah, ketidakpuasan, kebohongan, penyakit-penyakit hati, kehancuran manusia.
Sementara itu berjalan, semakin banyak pula yang berkata bahwa neraka adalah tempat paling menakutkan dimana manusia akan menerima siksaan pedih berkepanjangan setelah mati nanti, siksaan abadi. Ya, tentu saja abadi berarti selama-lamanya. Padahal, banyak sekali manusia yang menginginkan ataraxia, kebebasan diri akan rasa sakit, karena mereka menyukai satu hal saja: kebahagiaan. Sedangkan ‘neraka’ justru memberikan sensasi kengerian yang teramat besar, membuat siapapun tak lagi bahagia. Dan kemudian, semakin banyak manusia yang takut mati...
Aku memang bukan seseorang yang agamis, tapi aku menghargai ajaran dari setiap agama yang ada di muka bumi ini, yang membawa manusia pada kebaikan, yang mengajarkan cara-cara berterima kasih kepada Tuhan. Namun untukku yang tidak dianugerahi kemampuan luar biasa tentang ketuhanan, kuyakinkan diriku untuk yang kesekian kalinya, bahwa siapapun, Tuhan manapun, tidak akan bisa mencegahku malam ini.
Ya.
Tuhanku yang belum kutemukan, bantulah aku.
            Bantulah aku membunuh ibuku...
***

“They say the best things come to those who wait.
They know, they know it exists.
But if they can’t see it or touch it, it’s fake.
I’ve been waiting and I’m not hearing a thing.
Hearing a thing from You”-The Color Morale.

Aku sudah lama jauh dari Tuhan. Sekarang...aku berlari lebih jauh lagi dari-Nya.
Saat menengok ke belakang, aku hanya bisa melihat tembok besar yang tinggi dan luas, buruknya tembok itu berjarak lima senti saja dari hidungku. Seperti terjebak...kurasa aku tidak diperbolehkan kembali lagi. Karena itu aku semakin berlari menjauh, dan lebih jauh lagi dari Tuhan. Bukan karena aku ingin, tetapi karena jalan pulangku telah tertutup tembok. Genangan air dan tembok...kurasa mereka sangat senang jika kelak Tuhan memasukkanku ke neraka. Kurasa...aku harus mengikuti permainan mereka.
Rama sibuk menerawang langit-langit kamarnya yang berwarna putih bersih dengan posisi terlentang. Pikirannya kemana-mana. Dia masih belum bisa melupakan apa yang dikatakan oleh ayahnya, tentang kecelakaan yang menimpa ibu dan adiknya. Apakah itu murni kecelakaan, atau ibunya sengaja merencanakan kecelakaan itu?
Bunuh diri. Itu bunuh diri namanya, jika ibunya benar-benar sengaja. Dan...itu berarti ibunyalah yang membunuh Arelia. Itu dosa besar yang sulit diampuni Tuhan. Bunuh diri dan membunuh. Lalu, apakah ibunya akan masuk neraka?
Ketakutan-ketakutan pun muncul dalam diri Rama, dia sangat menyayangi ibunya, ibunya sangat baik. Apa benar ibunya akan masuk neraka? Apa Tuhan akan sejahat itu pada ibunya yang baik?
“Iya kalau neraka itu ada, kalau nggak? Paling-paling Ibu cuma lenyap, nggak lebih dari itu” gumam Rama.
 Tapi bagaimana jika neraka benar-benar ada dan ibunya harus disiksa di sana? Siksa neraka yang abadi, selama-lamanya! Rama tidak ingin hal itu terjadi, dia harus memastikan, dia tidak ingin ibunya masuk neraka, ibunya yang baik tidak boleh masuk neraka.
Rama mengepalkan tangan erat, dia bukan orang yang cengeng, tapi ini terlampau membuatnya sedih, sedih dan sakit. Lantas apa yang harus dia lakukan?
Dan kemudian pikiran-pikiran beralih. Bagaimana kalau ternyata kecelakaan itu memang tidak disengaja, benar-benar sebuah insiden yang tidak terduga, takdir. Berarti Arelia memang beruntung, dia dibuat mati cepat agar tidak terlalu banyak merasakan kebobrokan dunia.
“Bagus, itu bagus...”
Lalu...ibunya yang sekarang dirawat di rumah sakit, ketika sadar dan terbangun nanti...apa yang harus Rama katakan pada ibunya? Apakah harus jujur pada ibunya yang baik, walaupun kejujuran itu menyakitkan? Bahwa anak perempuan kecilnya sudah mati? Bahwa suaminya sudah semakin tergila-gila pada wanita lain? Bahwa anak laki-lakinya mulai kehilangan akal sehat? Apakah mungkin seperti itu? Taruhan, ibunya pasti akan amat sangat terpukul. Rama tidak mau membayangkan apa yang akan ibunya lakukan selanjutnya dengan perasaan seterpukul itu. Mungkin, ibunya akan benar-benar memilih untuk bunuh diri. Ibunya akan tetap masuk neraka.
Dan saat itulah, sebuah rencana gila penuh resiko yang jauh dari akal sehat muncul, dalam sekejap mempengaruhi seluruh sistem berpikir Rama, mengambil alih. Dia...mungkin sekarang, benar-benar tidak punya otak.
“Gue bisa cegah Ibu masuk neraka!” pekik Rama bersemangat. “Bodoh amat itu kecelakaan disengaja atau nggak, asal sekarang Ibu belum mati, gue masih bisa cegah Ibu masuk neraka. Gue bisa bunuh Ibu. Ya...bunuh Ibu secepatnya. Kalau Ibu gue bunuh, berarti gue yang nanti masuk neraka. Kalau kecelakaan kemarin sengaja...Ibu belum mati, dia selamat dari bunuh diri, jadi nggak masuk hitungan. Terus Arelia...Tuhan pasti kasih keringanan, Ibu udah ngerawat Arelia. Ya ya ya...nggak masalah gue masuk neraka, belum tentu neraka ada. Pokoknya harus bantu Ibu dulu. Ibu nggak perlu ngerasain sakit lagi, gue bisa lenyapin rasa sakit itu.”
Rama tersenyum tenang, lalu dia memejamkan mata dan tidur pulas.
Tuhan, apakah Engkau sungguh-sungguh ada dan melihatku saat ini?
Tertawalah...tidak apa-apa. Aku sendiri terkadang tertawa memikirkan-Mu.
***

Mobil yang Rama kendarai melaju semakin kencang sementara di luar hujan mulai turun rintik-rintik. Kecepatannya bertambah setiap kali dia membayangkan apa yang akan terjadi esok pagi setelah malam ini terlewati, ketika matahari terbit dengan cara yang sama seperti jutaan tahun lampau, yang tidak pernah salah, selalu dari timur. Disekanya keringat yang mengalir di dahi dengan lengan kirinya. Ada perasaan aneh yang membuatnya sesak, menusuk hati.
Rama hapal dengan rasa sakit yang menusuknya, tapi kali ini rasa sakit itu seolah-olah digandakan ratusan kali, bahkan mengalahkan rasa sakit di telinga kirinya yang baru empat hari diperban. Padahal empat hari yang lalu dia menangis sejadi-jadinya saat dokter harus mengambil serpihan kaca dari dalam telinganya, setelah dia beradu jotos dengan ayah kandungnya sendiri. Tapi sekarang, bahkan itu semua bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan rasa sakit di hatinya yang tiba-tiba saja menjalar cepat seperti resapan air.
Sebenarnya Rama jijik untuk duduk di dalam salah satu mobil milik ayahnya itu, BMW hitam yang selalu terparkir di garasi dan hanya digunakan oleh ayahnya untuk acara meeting tertentu. Namun dia tak peduli lagi, kalau bukan karena terpaksa, kalau bukan karena ibunya...
Lagi-lagi bayangan sesosok anak perempuan kecil muncul di benak Rama. Arelia...adik perempuan Rama satu-satunya, adik yang paling dia sayang. Dulu Rama tidak mau adik perempuan, dia ingin sekali adik laki-laki agar bisa diajak bermain bola dan playstation. Lalu Arelia lahir, bukan adik laki-laki, tidak bisa diajak bermain bola atau playstation, namun sosok Arelia kecil sangatlah lucu, rambutnya ikal, matanya bulat, senyumnya manis dengan dua lesung pipi di kiri dan kanan, sulit bagi Rama untuk tidak menyayangi adik perempuannya itu.
Bulan depan Arelia akan menginjak usia tujuh tahun, Rama sudah menyiapkan kado boneka kelinci untuk adik perempuannya. Percakapan-percakapan ringan dengan adiknya pun kembali terngiang.
“Kak Rama, Kak Rama, boleh nggak Arel pelihara kelinci?”
“Nggak.”
“Arel pengen, Kak. Ya? Ya?”
“Buat apaan?”
“Mmm...nambah pasukan.”
“Pasukan?”
“Iya, pasukan penyayang Kak Rama. Hehe...biar makin banyak yang sayang sama kakak. Kan ada Arel, terus Ibu, kalau Arel pelihara kelinci, nanti kelincinya Arel ajarin supaya sayang ke Kak Rama juga, jadi tiga deh.”
            Hati Rama kini semakin terasa sakit saat mengenang percakapannya dengan Arelia, dia tidak lagi ingat sejak kapan menjadi selemah ini jika menghadapi hal-hal yang terkait dengan kenangan, apalagi kenangan indah. Arelia sudah tidak ada lagi, adik perempuannya itu tidak akan pernah berusia tujuh tahun, tidak akan pernah menerima kado dari Rama. Ya, karena Arelia sudah terkubur di dalam tanah.
***

How do I tell my Mom, that everything’s gone?
How do I tell my Mom, that today is her last day?
How do I tell my Mom, that I really love her?
How do I tell my Mom?
How do I tell my Mom?
How do I tell my Mom, that I really really wanna kill her?
***

Biar Tuhan, biarkan aku menjadi pendosa, sebelum aku benar-benar menemukan-Mu...
Rama berdiri sendirian di dalam lift sebuah rumah sakit, tujuannya adalah lantai lima. Dia melihat pantulan dirinya lewat pintu lift, seragamnya basah kuyup, sedikit karena tetes hujan, lebih banyak lagi karena keringat dingin yang terus mengucur sedari tadi. Rama nampak mengerikan, kedua matanya merah, rambutnya yang agak panjang juga awut-awutan, otot-otot di leher dan lengannya menjumbul karena tegang.
Ini tidak seperti bermain game dimana kita telah sampai di level terakhir dan harus bertahan mati-matian agar tetap hidup, ini bukanlah seperti itu.
Rama memegang erat senjata api rakitan yang dia dapat dari pria di gang tadi, plastik transparan yang membungkusnya sudah dibuka dan dibuang sebelum tiba. Benda yang dia sembunyikan dalam saku celananya itu, Rama mengambil uang tabungan yang dikumpulkan susah payah untuk membelinya. Ironis, dia menabung untuk membunuh ibunya.
          Tidak lama kemudian pintu lift terbuka, Rama pun keluar dengan langkah mantab namun agak berat, jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Lantai lima lumayan sepi, hanya ada beberapa perawat yang sibuk mondar-mandir sambil membawa map di tangan, mereka bahkan tidak memperhatikan kehadiran Rama yang berseragam SMA.
            Sudah kubilang, tidak ada siapapun yang bisa mencegahku.
            Sepatu Rama meninggalkan jejak dan genangan air di sepanjang lantai, semua jejak itu menuju sebuah kamar, dia tidak hafal nomor kamar ibunya tapi hafal betul letaknya. Dibukanya kamar itu perlahan, lalu dia melangkah masuk pelan-pelan.
          Bayangan-bayangan tentang masa kecil Rama dengan cepat melintas. Sosok bocah laki-laki berusia lima tahun yang memakai seragam TK Dirgantara berwarna biru tua perlahan muncul, bocah itu sedang berlari-lari kecil ke arah ibunya yang sudah menunggu di gerbang sekolah. Ibunya cantik, senyumnya hangat dan berseri-seri, ibu terbaik yang Tuhan berikan pada bocah itu, ibu terbaik bagi Rama.
            Rama kecil sangat menyayangi ibunya, dia merasa aman dan tentram jika berada di pelukan ibunya. Rama pikir dia sangat menyayangi ibunya. Tapi salah, itu kesalahan besar, karena rasa sayang ibunya jauh berlipat-lipat darinya.
            “Ibu sayaaang banget sama Rama. Walaupun Rama besok udah gede dan nggak bobo’ sama Ibu lagi, Ibu tetep sayang Rama, dan meskipun Rama udah lebih tinggi dari Ibu, Ibu juga tetep sayang.”
            “Rama juga sayaaaaang banget sama Ibu!”
            “Eh, tapi Ibu lebih sayaaaaaaaaaaaang lagi sama Rama!”
            “Janji?”
            “Ini bukan janji, ini pasti, selama-lamanya...”
            Rama tidak dapat melupakan senyuman ibunya, ingatan itu terlalu kuat. Mereka bilang ingatan semasa kecil adalah ingatan yang paling sulit dikenang, tapi bagi Rama, ingatan tentang kasih sayang ibunya adalah ingatan terkuatnya, yang membuatnya bertahan hingga saat ini. Tanpa ingatan itu, mungkin Rama sudah menyerah, mungkin dia sudah gila.
         Tangan kanan Rama mengeluarkan senjata api dari saku celana sementara jemari tangan kirinya menyusuri pinggiran ranjang besi tempat ibunya terbaring. Ibunya nampak menyedihkan dikelilingi selang infus dan tabung oksigen, matanya terpejam, banyak luka gores di wajahnya yang berkulit sawo matang, entah apa yang ada dalam mimpinya sekarang. Walaupun begitu, wajah ibunya yang cantik tetap menunjukkan ketentraman, ketentraman yang selama ini selalu Rama hirup dan menjadi bagian dari napasnya, sepenting udara, dan jika itu sepenting udara, maka Rama bisa mati tanpanya.
           Detik berikutnya Rama sudah menodongkan senjata api di pelipis kiri ibunya, tangannya sedikit gemetar namun dia segera menguasai diri. Rama tidak pernah memegang senjata asli sebelum ini, tapi untuk sekarang, dia harus membiasakan diri, untuk satu malam ini.
            SAKIT! INI SANGAT SAKIT, BU!
      Rama menyadari air matanya mulai mengalir, tidak sedikit, banyak sekali hingga membasahi wajah, tapi dia tidak bersuara sedikitpun. Ruangan hening, suara terkeras yang dapat didengar adalah napas Rama yang beriringan dengan suara detik jam yang bergerak.
       Rama menyeka kedua matanya dengan punggung tangan. “Rama harus bunuh Ibu, maafkan Rama, Bu...” ujarnya berbisik di dekat ibunya. “Karena Rama nggak mau cara lain. Biar Rama yang masuk neraka...asal Ibu bisa bebas dari ini semua. Rama janji, nanti Ibu pasti ketemu Arelia. Rama rela jadi anak durhaka supaya Ibu bisa cepat masuk surga...”
           Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas, jarumnya terus bergerak maju, semua tahu bahwa waktu itu tidak dapat diputar kembali. Semua manusia bergerak searah dengan waktu, bahkan tak sedikit yang benar-benar mengejarnya.
          Di mataku kini jarum jam tak lagi bergerak, aku berdiri di antara lorong-lorong yang kosong dan panjang, dan sesungguhnya mataku sudah lama terpejam. Benar, aku ini lemah, aku ini pengecut, aku tak pernah mau membuka mata. Kupikir aku sedang berdiri di sebuah lorong sendirian. Karena itu, waktu bukanlah apa-apa bagiku, waktu tak lagi berharga.
          “Aku yakin Arelia masuk surga, aku yakin Ibu nanti juga ke sana, aku yakin Ibu nggak akan marah kalau aku bunuh. Ibu selalu mengerti aku, Ibu selalu mengerti aku dibandingkan siapapun...” kata Rama lirih dengan suara serak. “Iya kan, Bu? Iya kan? Walapun Rama yang bunuh Ibu, Ibu tetap sayang Rama kan? Sayaaaaaaaaaang sama Rama kan, Bu? Iya kan?”
            DOR!!!
***

        Rama ambruk ke lantai, hampir lima belas menit dia menangis keras dalam posisi jongkok dengan wajah yang tenggelam pada dua lengan, seperti anak kecil yang baru kehilangan permennya.
Rama terlalu pengecut, dia tidak akan mampu...
Rama tidak mempedulikan teriakan orang-orang yang sudah berlarian masuk ke kamar tempat ibunya dirawat begitu mendengar suara tembakan yang memekakan telinga. Mereka berusaha membujuk, namun Rama tidak beranjak sedikitpun. Aksinya menyisakan bekas tembakan di tembok yang kini berlubang kecil.
Ibunya masih terbaring, bernyawa.
Tuhan berbisik padaku, bisikan yang amat sangat lirih dan apabila berbentuk, kuharap itu selembut sutra. Bisikan rahasia sepanjang satu detik yang bagiku sudah cukup untuk bisa membuat siapa saja terperangah, bahkan mereka yang kurang punya keyakinan akan-Nya, karena ‘Itu’...Itu adalah Tuhan yang berbisik padaku. Karena-Nya aku menangis.
Aku boleh bangkit. Ya, aku boleh bangkit hari ini, tak apa meski dulunya aku lusuh dan terbuang. Kata Tuhan, aku...dan ibuku...akan baik-baik saja.
Kami akan baik-baik saja...
-THE END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar