“This
could be a movie, this could be a final act.
We
don’t need this happy ending...”-Funeral For A Friend.
Semalam aku bermimpi
genangan air mencaciku, mereka begitu memuakkan dengan wajah getir menatapku
tersungkur di balik kabut trasparan yang beracun, sungguh membuatku sesak.
Mereka tertawa dan terus tertawa, kemudian melontarkan kata-kata terburuk yang
dapat mereka temukan tentang bagian dari diriku yang paling gelap, sementara
aku tak dapat berhenti memperhatikan bentuk mereka yang jelek-jelek dan coklat
keruh itu dalam kepasifan. Sial! Mereka semua jelek tapi masih saja
menertawakanku! Ya, genangan air setelah hujan deras mengguyur, mereka semua
jelek...
Dulunya aku pernah terpesona
melihat genangan air di pinggiran jalan, walaupun tak ada yang peduli pada
mereka, walaupun mereka jelek, setidaknya mereka merefleksikan warna dunia.
Entah itu hitam pekat, atau putih bersinar, yang jelas tidak ada kebohongan.
Tapi dulu, sekarang mereka kelam, seolah-olah membuatku bercermin pada
kematian.
Beberapa orang di luar sana mungkin
sedang sibuk membicarakan bagaimana definisi orang beruntung. Apakah beruntung
itu ketika seseorang terhindar dari kesialan, apakah beruntung itu ketika
segalanya dapat dimiliki, ataukah...beruntung itu tak lebih dari sebuah kata
yang mendeskripsikan kemampuan seseorang untuk mencapai kualitas hidup yang
lebih baik dengan cara-cara tak terduga, mungkin juga beruntung bukanlah hal
yang cukup menarik diperbincangkan ketimbang masalah-masalah sosial di negara
ini semacam kemiskinan terstruktur karena shared
poverty. Terserah, apapun itu, karena satu-satunya definisi beruntung yang Rama
tahu dalam hidupnya adalah ketika manusia benar-benar moksa, lenyap dari dunia.
Rama menginjak puntung rokoknya di
aspal, itu adalah rokok keempat yang dia hisap. Dia pecandu rokok parah sejak
duduk di bangku kelas 3 SMP. Kalau saja paru-parunya diberi jiwa dan dapat
hidup serta berbicara, hal pertama yang terucap pastilah “bangsat!” sama
seperti pertama kali Rama tersadar untuk mengatakan kata itu dengan lantang di
tengah-tengah kerumunan manusia pada minggu pagi yang cerah empat hari yang
lalu. Perban di telinga kiri Rama sedikit terbuka, tapi dia tak
menghiraukannya, sekalipun rasanya amat perih.
Udara malam semakin menusuk masuk
lewat tengkuk, Rama menggigil di balik seragam abu-abu putihnya yang sudah agak
lembap. Tetapi tetap, dia tak beranjak, hanya berdiri diam di sudut gang sempit
yang remang-remang. Lampu kendaraan yang berseliweran di seberang jalan hanya
sedikit memberinya penerangan.
Di sepanjang gang sempit itu tak ada
orang lain lagi selain Rama, sepertinya memang tak ada yang sudi untuk lewat,
terutama karena sekarang sedang musim penghujan. Lampu-lampu neon yang
seharusnya menerangi tidak berfungsi, jalanan gang yang hanya selebar dua meter
juga becek. Menyedihkan. Apalagi bau
sampah busuk dari selokan, ditambah kawanan tikus yang berlarian sambil
meninggalkan kotoran, lengkap sudah. Tapi Ramadigda Esa rela, bahkan jika dia
harus pergi ke tempat paling menjijikkan sekalipun, tempat seburuk apapun,
untuk satu malam terbesarnya.
Dari jauh muncul sesosok pria
bertubuh kurus tinggi berjalan menghampiri Rama, usianya dua puluh limaan, tapi
dia terlihat sepuluh tahun lebih tua lantaran penampilannya agak lusuh dan
rambut tipisnya yang tumbuh di sekitar dagu tidak dicukur, dia juga memakai
jaket berbahan kulit yang nampak murahan. Walaupun begitu dia sangat
berhati-hati dengan sesuatu yang tersembunyi di balik jaketnya.
“Nunggu lama ya?”
Rama menjawab dengan gelengan
kepala, raut wajahnya dingin.
“Terus, duitnya?” pria berjaket
kulit itu mengangkat alis.
“Udah gue transfer” tukas Rama
singkat, sebenarnya dia tidak ingin bicara sama sekali, buang-buang tenaga
menurutnya.
Padahal
Rama baru berusia tujuh belas tahun, tapi dia sudah berani menunjukkan
ketidakseganannya pada pria itu.
Si pria mengangguk senang, “Bagus,
bagus kalau gitu...”
“Mana barangnya?”
“Kenapa harus buru-buru?”
“Lo nggak perlu tahu” jawab Rama tak
ingin basa-basi, dia harus bergegas!
“Oke, gue bisa ngerti” si pria
mengeluarkan sebuah bungkusan dari balik jaket dan menyerahkannya pada Rama.
“Nih! Lo boleh pakai sesuka hati, milik lo sekarang. Tapi ingat, jangan
bawa-bawa nama gue! Paham?”
Rama menatap benda yang terbungkus
plastik transparan di tangannya, ada senyum putus asa namun penuh keyakinan di
sudut bibirnya. Dia hampir sampai, perjalanannya kurang beberapa kilo lagi.
“Gue nggak goblok” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun dari benda
itu, tatapan matanya berubah antusias.
“Elo ngerti cara makainya kan?”
“Heh, gue nggak butuh buku panduan
kalau cuma buat makai beginian” Rama pun segera berbalik untuk berjalan pergi
meninggalkan pria itu. Urusannya sudah selesai, batinnya.
“TUNGGU!”
Spontan Rama menghentikan langkah
sambil menendang bangkai tikus yang menghalangi jalan dengan sepatu converse putihnya. “Apa lagi?” tanyanya
gusar.
“Elo kan masih sekolah,” kata si
pria berjaket dengan nada bicara sedikit berkelakar. “Emang lo nggak takut?”
“Sama siapa? Polisi?” Rama tak mau
kalah, diapun nyengir mencemooh.
“Bukan, bukan...bukan polisi. Lo
nggak takut sama Tuhan?”
“Tuhan?” Rama diam sejenak,
tertegun. Mendengar nama itu dia tidak punya pilihan lagi selain menghela
napas, seakan-akan ada kelegaan yang muncul diimbangi rasa sesal, bahwa selama
hidupnya, tujuh belas tahun hidupnya, orang pertama yang menanyakan pertanyaan
semacam itu justru seorang pecundang dua puluh lima tahun tak berguna, penjual drugs dan barang gelap seperti pria di
depannya. Salah satu titik noda bangsa yang tidak memiliki arti sedikit pun
untuk dunia yang terlalu menuntut banyak ini. Orang itu, beraninya dia. “Itu...gue belum punya” timpal Rama
sambil tersenyum kecut. “Gue belum mau” diapun melangkah pergi.
***
I feel like a deadman
walking. Keep walking, keep walking, and walking every single day...with no
reason. I’m deadman walking, I’m ghost, I’m invisible, I’m nothing... But I’m
here, I’m alive, I’m a part of this
amazing universe.
What a shame?
Ada seorang ilmuan
yang mengatakan bahwa religi itu dimulai dengan munculnya rasa sadar dan takut
akan maut. Kematian.
Pertanyaan-pertanyaan ‘apa yang akan terjadi setelah manusia mati’ menjadi
misteri terbesar dalam hidup semua orang. Lalu muncul perkembangan pemikiran
atas pertanyaan itu, tentang ‘apa yang membuat manusia ada di bumi dan siapa yang
bertanggung jawab untuk ini.’ Selanjutnya muncul Tuhan, muncul surga karena
adanya segala kebaikan, dan...yang lebih buruk lagi, muncul neraka, muncul
iblis, kejahatan, rasa benci, iri, amarah, ketidakpuasan, kebohongan,
penyakit-penyakit hati, kehancuran manusia.
Sementara itu
berjalan, semakin banyak pula yang berkata bahwa neraka adalah tempat paling
menakutkan dimana manusia akan menerima siksaan pedih berkepanjangan setelah
mati nanti, siksaan abadi. Ya, tentu saja abadi berarti selama-lamanya. Padahal,
banyak sekali manusia yang menginginkan ataraxia, kebebasan diri akan rasa
sakit, karena mereka menyukai satu hal saja: kebahagiaan. Sedangkan ‘neraka’
justru memberikan sensasi kengerian yang teramat besar, membuat siapapun tak
lagi bahagia. Dan kemudian, semakin banyak manusia yang takut mati...
Aku
memang bukan seseorang yang agamis, tapi aku menghargai ajaran dari setiap
agama yang ada di muka bumi ini, yang membawa manusia pada kebaikan, yang
mengajarkan cara-cara berterima kasih kepada Tuhan. Namun untukku yang tidak
dianugerahi kemampuan luar biasa tentang ketuhanan, kuyakinkan diriku untuk
yang kesekian kalinya, bahwa siapapun, Tuhan manapun, tidak akan bisa
mencegahku malam ini.
Ya.
Tuhanku
yang belum kutemukan, bantulah aku.
Bantulah
aku membunuh ibuku...
***
“They say the best things come to those who wait.
They know, they know it exists.
But if they can’t see it or touch it, it’s fake.
I’ve been waiting and I’m not hearing a thing.
Hearing a thing from You”-The Color Morale.
Aku sudah lama jauh dari
Tuhan. Sekarang...aku berlari lebih jauh lagi dari-Nya.
Saat menengok ke belakang,
aku hanya bisa melihat tembok besar yang tinggi dan luas, buruknya tembok itu
berjarak lima senti saja dari hidungku. Seperti terjebak...kurasa aku tidak
diperbolehkan kembali lagi. Karena itu aku semakin berlari menjauh, dan lebih
jauh lagi dari Tuhan. Bukan karena aku ingin, tetapi karena jalan pulangku
telah tertutup tembok. Genangan air dan tembok...kurasa mereka sangat senang
jika kelak Tuhan memasukkanku ke neraka. Kurasa...aku harus mengikuti permainan
mereka.
Rama
sibuk menerawang langit-langit kamarnya yang berwarna putih bersih dengan
posisi terlentang. Pikirannya kemana-mana. Dia masih belum bisa melupakan apa
yang dikatakan oleh ayahnya, tentang kecelakaan yang menimpa ibu dan adiknya.
Apakah itu murni kecelakaan, atau ibunya sengaja merencanakan kecelakaan itu?
Bunuh
diri. Itu bunuh diri namanya, jika ibunya benar-benar sengaja. Dan...itu
berarti ibunyalah yang membunuh Arelia. Itu dosa besar yang sulit diampuni
Tuhan. Bunuh diri dan membunuh. Lalu, apakah ibunya akan masuk neraka?
Ketakutan-ketakutan
pun muncul dalam diri Rama, dia sangat menyayangi ibunya, ibunya sangat baik.
Apa benar ibunya akan masuk neraka? Apa Tuhan akan sejahat itu pada ibunya yang
baik?
“Iya
kalau neraka itu ada, kalau nggak? Paling-paling Ibu cuma lenyap, nggak lebih
dari itu” gumam Rama.
Tapi bagaimana jika neraka benar-benar ada dan
ibunya harus disiksa di sana? Siksa neraka yang abadi, selama-lamanya! Rama
tidak ingin hal itu terjadi, dia harus memastikan, dia tidak ingin ibunya masuk
neraka, ibunya yang baik tidak boleh masuk neraka.
Rama
mengepalkan tangan erat, dia bukan orang yang cengeng, tapi ini terlampau
membuatnya sedih, sedih dan sakit. Lantas apa yang harus dia lakukan?
Dan
kemudian pikiran-pikiran beralih. Bagaimana kalau ternyata kecelakaan itu
memang tidak disengaja, benar-benar sebuah insiden yang tidak terduga, takdir.
Berarti Arelia memang beruntung, dia dibuat mati cepat agar tidak terlalu
banyak merasakan kebobrokan dunia.
“Bagus,
itu bagus...”
Lalu...ibunya
yang sekarang dirawat di rumah sakit, ketika sadar dan terbangun nanti...apa
yang harus Rama katakan pada ibunya? Apakah harus jujur pada ibunya yang baik,
walaupun kejujuran itu menyakitkan? Bahwa anak perempuan kecilnya sudah mati?
Bahwa suaminya sudah semakin tergila-gila pada wanita lain? Bahwa anak
laki-lakinya mulai kehilangan akal sehat? Apakah mungkin seperti itu? Taruhan,
ibunya pasti akan amat sangat terpukul. Rama tidak mau membayangkan apa yang
akan ibunya lakukan selanjutnya dengan perasaan seterpukul itu. Mungkin, ibunya
akan benar-benar memilih untuk bunuh diri. Ibunya akan tetap masuk neraka.
Dan
saat itulah, sebuah rencana gila penuh resiko yang jauh dari akal sehat muncul,
dalam sekejap mempengaruhi seluruh sistem berpikir Rama, mengambil alih.
Dia...mungkin sekarang, benar-benar tidak punya otak.
“Gue
bisa cegah Ibu masuk neraka!” pekik Rama bersemangat. “Bodoh amat itu
kecelakaan disengaja atau nggak, asal sekarang Ibu belum mati, gue masih bisa
cegah Ibu masuk neraka. Gue bisa bunuh Ibu. Ya...bunuh Ibu secepatnya. Kalau
Ibu gue bunuh, berarti gue yang nanti masuk neraka. Kalau kecelakaan kemarin
sengaja...Ibu belum mati, dia selamat dari bunuh diri, jadi nggak masuk hitungan.
Terus Arelia...Tuhan pasti kasih keringanan, Ibu udah ngerawat Arelia. Ya ya
ya...nggak masalah gue masuk neraka, belum tentu neraka ada. Pokoknya harus
bantu Ibu dulu. Ibu nggak perlu ngerasain sakit lagi, gue bisa lenyapin rasa
sakit itu.”
Rama
tersenyum tenang, lalu dia memejamkan mata dan tidur pulas.
Tuhan, apakah Engkau
sungguh-sungguh ada dan melihatku saat ini?
Tertawalah...tidak apa-apa.
Aku sendiri terkadang tertawa memikirkan-Mu.
***
Mobil
yang Rama kendarai melaju semakin kencang sementara di luar hujan mulai turun
rintik-rintik. Kecepatannya bertambah setiap kali dia membayangkan apa yang
akan terjadi esok pagi setelah malam ini terlewati, ketika matahari terbit
dengan cara yang sama seperti jutaan tahun lampau, yang tidak pernah salah,
selalu dari timur. Disekanya keringat yang mengalir di dahi dengan lengan
kirinya. Ada perasaan aneh yang membuatnya sesak, menusuk hati.
Rama
hapal dengan rasa sakit yang menusuknya, tapi kali ini rasa sakit itu
seolah-olah digandakan ratusan kali, bahkan mengalahkan rasa sakit di telinga
kirinya yang baru empat hari diperban. Padahal empat hari yang lalu dia
menangis sejadi-jadinya saat dokter harus mengambil serpihan kaca dari dalam
telinganya, setelah dia beradu jotos dengan ayah kandungnya sendiri. Tapi
sekarang, bahkan itu semua bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan rasa sakit
di hatinya yang tiba-tiba saja menjalar cepat seperti resapan air.
Sebenarnya
Rama jijik untuk duduk di dalam salah satu mobil milik ayahnya itu, BMW hitam
yang selalu terparkir di garasi dan hanya digunakan oleh ayahnya untuk acara meeting tertentu. Namun dia tak peduli
lagi, kalau bukan karena terpaksa, kalau bukan karena ibunya...
Lagi-lagi
bayangan sesosok anak perempuan kecil muncul di benak Rama. Arelia...adik
perempuan Rama satu-satunya, adik yang paling dia sayang. Dulu Rama tidak mau
adik perempuan, dia ingin sekali adik laki-laki agar bisa diajak bermain bola
dan playstation. Lalu Arelia lahir,
bukan adik laki-laki, tidak bisa diajak bermain bola atau playstation, namun sosok Arelia kecil sangatlah lucu, rambutnya
ikal, matanya bulat, senyumnya manis dengan dua lesung pipi di kiri dan kanan,
sulit bagi Rama untuk tidak menyayangi adik perempuannya itu.
Bulan
depan Arelia akan menginjak usia tujuh tahun, Rama sudah menyiapkan kado boneka
kelinci untuk adik perempuannya. Percakapan-percakapan ringan dengan adiknya pun
kembali terngiang.
“Kak Rama, Kak Rama, boleh
nggak Arel pelihara kelinci?”
“Nggak.”
“Arel pengen, Kak. Ya? Ya?”
“Buat apaan?”
“Mmm...nambah pasukan.”
“Pasukan?”
“Iya, pasukan penyayang Kak Rama.
Hehe...biar makin banyak yang sayang sama kakak. Kan ada Arel, terus Ibu, kalau
Arel pelihara kelinci, nanti kelincinya Arel ajarin supaya sayang ke Kak Rama
juga, jadi tiga deh.”
Hati Rama kini semakin terasa sakit
saat mengenang percakapannya dengan Arelia, dia tidak lagi ingat sejak kapan
menjadi selemah ini jika menghadapi hal-hal yang terkait dengan kenangan,
apalagi kenangan indah. Arelia sudah tidak ada lagi, adik perempuannya itu
tidak akan pernah berusia tujuh tahun, tidak akan pernah menerima kado dari Rama.
Ya, karena Arelia sudah terkubur di dalam tanah.
***
How do I tell my Mom, that everything’s
gone?
How do I tell my Mom, that today is her
last day?
How do I tell my Mom, that I really love
her?
How do I tell my Mom?
How do I tell my Mom?
How do I tell my Mom, that I really
really wanna kill her?
***
Biar Tuhan, biarkan aku
menjadi pendosa, sebelum aku benar-benar menemukan-Mu...
Rama
berdiri sendirian di dalam lift sebuah
rumah sakit, tujuannya adalah lantai lima. Dia melihat pantulan dirinya lewat
pintu lift, seragamnya basah kuyup,
sedikit karena tetes hujan, lebih banyak lagi karena keringat dingin yang terus
mengucur sedari tadi. Rama nampak mengerikan, kedua matanya merah, rambutnya
yang agak panjang juga awut-awutan, otot-otot di leher dan lengannya menjumbul
karena tegang.
Ini
tidak seperti bermain game dimana
kita telah sampai di level terakhir dan harus bertahan mati-matian agar tetap
hidup, ini bukanlah seperti itu.
Rama
memegang erat senjata api rakitan yang dia dapat dari pria di gang tadi,
plastik transparan yang membungkusnya sudah dibuka dan dibuang sebelum tiba.
Benda yang dia sembunyikan dalam saku celananya itu, Rama mengambil uang
tabungan yang dikumpulkan susah payah untuk membelinya. Ironis, dia menabung
untuk membunuh ibunya.
Tidak lama kemudian pintu lift terbuka, Rama pun keluar dengan
langkah mantab namun agak berat, jantungnya berdetak lebih kencang dari
biasanya. Lantai lima lumayan sepi, hanya ada beberapa perawat yang sibuk
mondar-mandir sambil membawa map di tangan, mereka bahkan tidak memperhatikan
kehadiran Rama yang berseragam SMA.
Sudah
kubilang, tidak ada siapapun yang bisa mencegahku.
Sepatu Rama meninggalkan jejak dan
genangan air di sepanjang lantai, semua jejak itu menuju sebuah kamar, dia
tidak hafal nomor kamar ibunya tapi hafal betul letaknya. Dibukanya kamar itu
perlahan, lalu dia melangkah masuk pelan-pelan.
Bayangan-bayangan tentang masa kecil
Rama dengan cepat melintas. Sosok bocah laki-laki berusia lima tahun yang
memakai seragam TK Dirgantara berwarna biru tua perlahan muncul, bocah itu
sedang berlari-lari kecil ke arah ibunya yang sudah menunggu di gerbang
sekolah. Ibunya cantik, senyumnya hangat dan berseri-seri, ibu terbaik yang
Tuhan berikan pada bocah itu, ibu terbaik bagi Rama.
Rama kecil sangat menyayangi ibunya,
dia merasa aman dan tentram jika berada di pelukan ibunya. Rama pikir dia
sangat menyayangi ibunya. Tapi salah, itu kesalahan besar, karena rasa sayang
ibunya jauh berlipat-lipat darinya.
“Ibu
sayaaang banget sama Rama. Walaupun Rama besok udah gede dan nggak bobo’ sama
Ibu lagi, Ibu tetep sayang Rama, dan meskipun Rama udah lebih tinggi dari Ibu,
Ibu juga tetep sayang.”
“Rama
juga sayaaaaang banget sama Ibu!”
“Eh,
tapi Ibu lebih sayaaaaaaaaaaaang lagi sama Rama!”
“Janji?”
“Ini
bukan janji, ini pasti, selama-lamanya...”
Rama tidak dapat melupakan senyuman
ibunya, ingatan itu terlalu kuat. Mereka bilang ingatan semasa kecil adalah
ingatan yang paling sulit dikenang, tapi bagi Rama, ingatan tentang kasih
sayang ibunya adalah ingatan terkuatnya, yang membuatnya bertahan hingga saat
ini. Tanpa ingatan itu, mungkin Rama sudah menyerah, mungkin dia sudah gila.
Tangan kanan Rama mengeluarkan
senjata api dari saku celana sementara jemari tangan kirinya menyusuri
pinggiran ranjang besi tempat ibunya terbaring. Ibunya nampak menyedihkan
dikelilingi selang infus dan tabung oksigen, matanya terpejam, banyak luka
gores di wajahnya yang berkulit sawo matang, entah apa yang ada dalam mimpinya
sekarang. Walaupun begitu, wajah ibunya yang cantik tetap menunjukkan
ketentraman, ketentraman yang selama ini selalu Rama hirup dan menjadi bagian
dari napasnya, sepenting udara, dan jika itu sepenting udara, maka Rama bisa
mati tanpanya.
Detik berikutnya Rama sudah
menodongkan senjata api di pelipis kiri ibunya, tangannya sedikit gemetar namun
dia segera menguasai diri. Rama tidak pernah memegang senjata asli sebelum ini,
tapi untuk sekarang, dia harus membiasakan diri, untuk satu malam ini.
SAKIT!
INI SANGAT SAKIT, BU!
Rama menyadari air matanya mulai
mengalir, tidak sedikit, banyak sekali hingga membasahi wajah, tapi dia tidak
bersuara sedikitpun. Ruangan hening, suara terkeras yang dapat didengar adalah
napas Rama yang beriringan dengan suara detik jam yang bergerak.
Rama menyeka kedua matanya dengan
punggung tangan. “Rama harus bunuh Ibu, maafkan Rama, Bu...” ujarnya berbisik
di dekat ibunya. “Karena Rama nggak mau cara lain. Biar Rama yang masuk
neraka...asal Ibu bisa bebas dari ini semua. Rama janji, nanti Ibu pasti ketemu
Arelia. Rama rela jadi anak durhaka supaya Ibu bisa cepat masuk surga...”
Jam di dinding menunjukkan pukul
sebelas, jarumnya terus bergerak maju, semua tahu bahwa waktu itu tidak dapat
diputar kembali. Semua manusia bergerak searah dengan waktu, bahkan tak sedikit
yang benar-benar mengejarnya.
Di mataku kini jarum jam tak lagi bergerak,
aku berdiri di antara lorong-lorong yang kosong dan panjang, dan sesungguhnya
mataku sudah lama terpejam. Benar, aku ini lemah, aku ini pengecut, aku tak
pernah mau membuka mata. Kupikir aku sedang berdiri di sebuah lorong sendirian.
Karena itu, waktu bukanlah apa-apa bagiku, waktu tak lagi berharga.
“Aku yakin Arelia masuk surga, aku
yakin Ibu nanti juga ke sana, aku yakin Ibu nggak akan marah kalau aku bunuh.
Ibu selalu mengerti aku, Ibu selalu mengerti aku dibandingkan siapapun...” kata
Rama lirih dengan suara serak. “Iya kan, Bu? Iya kan? Walapun Rama yang bunuh
Ibu, Ibu tetap sayang Rama kan? Sayaaaaaaaaaang sama Rama kan, Bu? Iya kan?”
DOR!!!
***
Rama
ambruk ke lantai, hampir lima belas menit dia menangis keras dalam posisi
jongkok dengan wajah yang tenggelam pada dua lengan, seperti anak kecil yang
baru kehilangan permennya.
Rama terlalu pengecut, dia tidak akan mampu...
Rama tidak mempedulikan teriakan orang-orang
yang sudah berlarian masuk ke kamar tempat ibunya dirawat begitu mendengar
suara tembakan yang memekakan telinga. Mereka berusaha membujuk, namun Rama
tidak beranjak sedikitpun. Aksinya menyisakan bekas tembakan di tembok yang
kini berlubang kecil.
Ibunya masih terbaring, bernyawa.
Tuhan
berbisik padaku, bisikan yang amat sangat lirih dan apabila berbentuk, kuharap
itu selembut sutra. Bisikan rahasia sepanjang satu detik yang bagiku sudah
cukup untuk bisa membuat siapa saja terperangah, bahkan mereka yang kurang
punya keyakinan akan-Nya, karena ‘Itu’...Itu adalah Tuhan yang berbisik padaku.
Karena-Nya aku menangis.
Aku
boleh bangkit. Ya, aku boleh bangkit hari ini, tak apa meski dulunya aku lusuh
dan terbuang. Kata Tuhan, aku...dan ibuku...akan baik-baik saja.
Kami
akan baik-baik saja...
-THE END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar