Ganda...
Sangkakala bukanlah tandingan Ganda.
Ganda punya cara untuk gagalkan maut.
Dia penyiasat, meski gelagatnya
senyap...
Kalau kau mendengar nama Ganda, pergilah
selagi sempat.
Ganda itu pecinta yang dikutuk oleh
malam.
Dialah malam.
Dia datang selagi kau terlelap...
“Nama aslinya itu Ganda Selasih, dia
penduduk pribumi yang dipaksa nikah sama mandor, ya tentu mandornya kompeni!”
kata Mbok Ruki, penjaga villa milik keluarga suamiku. Setengah kecapaian dia
menyeka wajahnya yang keriput dengan kain lap yang sebelumnya dia gunakan untuk
membersihkan perabotan.
“Aduh Mbok, aku udah dengar itu bolak-balik dari ayah, sampai bosen!” sahut suamiku Chakra serambi
berjalan memasuki ruang tengah yang perabotannya sudah diganti dengan perabotan
modern.
“Mas Chakra udah, tapi aku kan belum
denger. Emang ceritanya serem banget ya?” timpalku, kasihan juga melihat Mbok
Ruki yang sudah bersemangat sejak tadi.
Kami
baru saja tiba di Malang, kota kelahiran suamiku. Baru kali ini aku dibawa ke
Malang walaupun sudah setahun menikah, karena memang keluarga Chakra tinggal di
Jakarta setelah kepala keluarga mereka wafat dua puluh lima tahun yang lalu.
Kini Malang hanya menjadi kota asal yang disinggahi setahun sekali jika bosan
dengan rutinitas sehari-hari.
Ibu
Chakra sudah menjelaskan padaku sebelumnya, akan ada banyak cerita seram
tentang villa mereka di Malang, bahkan seluruh penduduk desa mengenalnya
sebagai legenda rakyat setempat yang tetap dilestarikan untuk menarik wisatawan
lokal. Tante Jena, adik dari Ibu Chakra sampai membangun banyak villa serta
menjadikan desa mereka sebagai ladang bisnis sampingan, namun hanya satu villa
saja yang tidak disewakan, yaitu villa Ganda Selasih yang letaknya paling jauh
dan paling ujung di atas bukit, yang merupakan bangunan lama peninggalan
Belanda.
“Nggak
usah takut, Er. Villa ini khusus buat
keluarga sendiri, makanya nggak disewakan. Meskipun peninggalan Belanda, orang
Belanda-nya kan nenek-kakek buyutku juga” Chakra cengar-cengir.
Mbok
Ruki seolah tidak mau tahu, dia malah melanjutkan ceritanya. “Sewaktu hidup,
Ganda Selasih memang sering dipanggil Ganda, dia ndak suka namanya, tapi nama itu pemberian bapaknya. Nah, bapaknya
yang jual dia ke kompeni, yang jelas, setelah nikah dan punya dua anak sama
kompeni itu, Ganda jadi aneh, dia mulai doyan
makan kembang, tidur di atas pohon, minum
banyu peceren. Itu loh, air yang di
got-got, di selokan. Menurut cerita orang-orang tua, Ganda mulai ndaden!”
“Ndaden?”
“Injeh. Ndaden...berubah, biasanya kalau orang ngilmu, belajar kejawen,
terutama yang ilmu hitam, ndaden
sudah biasa. Usut punya usut, bapaknya Ganda punya niat jelek, saking tamaknya
ingin menguasai seluruh tanah, sampai tanah kompeni juga dikuasai, ya itu
caranya, menikahkan anaknya dengan kompeni, terus merubah anaknya jadi
dedemitan buat bunuh itu kompeni!”
“Terus, akhirnya gimana, Mbok?” tanyaku
penasaran yang mendengarkan dengan seksama cerita Mbok Ruki tanpa teralihkan
sedikitpun, meski Chakra berkali-kali memutar bola matanya bosan.
“Suatu
malam, tiba-tiba suami Ganda yang kompeni itu teriak keras, langsung semua
penjaga rumah ndobrak masuk kamarnya.
Orang-orang kaget, takut juga, di dalam kamar itu ada Ganda yang lagi nyesep mbun-mbunan suaminya. Itu...apa toh, yang kayak di film-film, yang
vampir itu, tapi ini yang disedot kepalanya, sampai otaknya habis!”
Aku
ternganga mendengar cerita Mbok Ruki, tidak berani membayangkan bahwa hal
mengerikan tersebut terjadi di villa ini. “Terus, suaminya mati?”
“Ya
iya toh! Lah wong otaknya habis disesep!
Sudah begitu, Ganda dikeroyok orang-orang, dipukuli dan diseret-seret, Ganda ndak melawan sama sekali...”
“Terus,
Mbok?”
“Ya
terus Ganda mati. Tapi Non, ndak lama
setelah itu dia jadi dedemit, sering seliweran di villa ini.”
Serius,
kali ini aku merinding.
“Gentayangan!”
lanjut Mbok Ruki dengan mata melotot. “Dulu jamannya saya masih kecil,
orang-orang desa sini ndak ada yang
berani lewat villa kalau sudah maghrib. Ibunya Den Chakra sendiri diungsikan ke
Malang kota, ndak mau tinggal di
villa. Takut sama dedemit, hantunya Ganda! Hiiiii...”
“Hus!
Mbok Ruki!” damprat Chakra. “Yang sampean
omongin itu leluhurku! Ibunya nenek! Kok malah dikata-katain dedemit!”
“Walah
Den, Den...ini kan sejarah, wajib dilestarikan.”
“Eh
Mbok, bedakan sejarah sama gosip ya!”
Mbok
Ruki meringis, rupanya sadar kalau sudah kelewatan. “Maaf Den...injih...injih...”
***
Aku
menyisir rambutku sambil bercermin di kamar sendirian, sementara Mas Chakra
menyibukkan diri dengan membaca buku di ruang tamu. Banyak pertanyaan di
benakku, lebih tepatnya rasa ingin tahu yang diliputi kecemasan. Aku belum pernah
berhadapan dengan hal-hal gaib maupun yang berbau klenik, karenanya cerita dari
Mbok Ruki membuatku cukup penasaran.
Apa
benar Ganda Selasih yang juga nenek buyut Mas Chakra itu benar-benar punya
kisah tragis dan meninggal di villa ini? Apa benar dia sungguh-sungguh
bergentayangan di sini semenjak kematiannya? Apa benar villa ini berhantu?
Hantu Ganda...
“Hayo...kenapa
bengong?” tanya Mas Chakra tiba-tiba yang masuk ke kamar kemudian berjalan
mendekat dan memelukku.
“Ah,
nggak Mas. Aku...lagi mikir, penasaran, nggak tahu kenapa.”
“Tentang
apa?”
“Ganda.”
“Ya
ampun Er...udah, nggak usah dipikir lagi. Itu semua karangannya orang-orang
sini aja. Jangan dipercaya.”
“Iya
Mas, tapi...”
“Takut
ya?”
“Nggak!”
“Ngaku
aja, pasti kamu takut” goda Mas Chakra. “Iya kan?”
“Nggak!
Aku nggak takut!” timpalku lantang seraya menatap Mas Chakra dengan mata
melotot.
“Bener
nih?”
“Iya!”
“Bener?”
nada Mas Chakra serius, ekspresinya juga nampak aneh. Dia tersenyum, tapi
senyumnya berbeda dengan yang tadi, kali ini lebih lebar.
“I...iya. Po...koknya, kalau bareng
Mas Chakra aku nggak takut” jawabku terbata.
“Hahahaha!” Mas Chakra malah tertawa
mendengarku. “Kamu ini Er...Er...udah aku duga. Huu! Dasar penakut kamu!” dia
mengacak rambutku dengan tangannya, rambutku yang tadinya sudah kusisir rapi
jadi berantakan lagi. “Yuk, bobok aja yuk!”
Aku hanya menghela napas. “Baru jam
delapan.”
Mas Chakra langsung melompat ke atas
ranjang, tak mendengarkan kata-kataku, dia malah menguap pelan dan menutupi
mukanya dengan bantal.
Melihat tingkahnya aku kembali
sadar, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ada dia di sini...dialah yang selalu
membuatku tenang.
“Ayo cepet sini Er! Yang bobok
terakhir dapat hukuman lhoh!”
Akupun segera melompat ke ranjang,
menyusulnya sambil tertawa cekikikan. Kami tertawa bersama-sama.
***
Tidurku sangat lelap, mungkin aku
tak akan bangun kalau saja aku tidak terjatuh dari ranjang. Ya, kebiasaan
tidurku yang suka berguling-guling sering kali membuatku terjatuh ke lantai.
Sempoyongan
aku bangkit dari lantai marmer yang dingin, kulihat Mas Chakra masih tertidur
lelap di atas ranjang dengan selimut hingga menutupi kepala. Jam di meja,
menunjukkan pukul empat pagi.
“Mas...Mas Chakra, anterin aku ke
dapur dong, bentar aja.”
Kugoyoang-goyang Mas Chakra dengan
jari telunjukku, namun dia tidak merespon, bergerak pun tidak.
“Aku haus, Mas. Mas...”
Perlahan kutarik selimut yang
menutupi tubuhnya, dan aku memekik pelan begitu mengetahui di balik selimut itu
hanyalah sebuah guling, bukan Mas Chakra-suamiku.
Samar-samar kucium bau busuk, antara
basi dan bau fermentasi yang menusuk hidung.
Kenapa mendadak ada bau seperti ini?
Batinku.
“Mas! Mas Chakra!” aku mulai
berteriak, beranjak dari ranjang menuju pintu.
Aku bertambah kaget, saat kubuka
pintu kayu jati yang menghubungkan kamar dengan ruang tengah, terdapat jeruji
besi yang menghalangi, seperti di penjara-penjara, padahal sebelumnya jeruji
itu tidak ada!
Apa-apaan?!
Aku pun panik, sambil terus
berteriak memanggil-manggil Mas Chakra, aku mencoba membuka jendela. Tetapi di
balik jendela kamar juga ada jeruji besi, terpasang kokoh dan agak berkarat.
Aku berusaha menariknya, membuatnya lepas, melakukan apapun agar jeruji itu
bisa terbuka!
“TOLONG!!! MAS CHAKRA!!!
MAAAAASSSSS!!!”
Kenapa jadi begini? Apa aku sedang
bermimpi?
Ayo bangun! Bangun!
Aku beralih lagi menuju jeruji di
pintu, di luar sana di ruang tengah nampak sepi, memang tak ada tanda-tanda
kehidupan, tapi tidak mungkin jeruji-jeruji ini terpasang dengan tiba-tiba, dan
kemana Mas Chakra menghilang?
“MAAAAASSSSS!!!!!! TOLONG
MAAAASSS!!!” aku yang kini ketakutan hanya bisa menangis, berteriak sekeras
mungkin dari balik jeruji pintu kamar, berharap siapapun mendengar, siapapun,
siapa saja. Kumohon...
“Ganda...” kata sebuah suara lirih
dari luar jeruji pintu.
Aku terlonjak kaget. Betapa tidak,
di hadapanku sesosok anak perempuan yang usianya mungkin belasan tahun,
bersorot mata tajam mengenakan kebaya warna merah marun berdiri menatapku
sambil menyilangkan kedua tangannya ke depan. Rambut anak itu terurai panjang,
ikal, hitam, dan lebat, khas wanita Jawa zaman dahulu.
Aku
tidak bisa berkata apa-apa, mulutku terasa disumpal bongkahan kertas yang tak
terlihat, sampai ke tenggorokan! Hal yang langsung melintas di kepalaku hanya satu,
hantu!
“Semua
tahu Ganda itu dikutuk, kalau kita dengar nama Ganda, kita harus cepat lari.
Dia datangnya malam hari, dia datang saat kita tidur lelap” lanjut anak
perempuan itu, dia terus berbicara dengan nada suara yang membuat bulu kuduk
merinding. “Tante mungkin lupa, mungkin juga nggak tahu, tapi Ganda nggak
peduli...Ganda yang pilih, dia yang pilih Tante.”
“Dik,
tolong keluarkan Tante dari sini, tolong... Ka...kamu bukan hantu kan?”
Anak perempuan di depanku membalas
dengan senyuman, dia menoleh ke kiri-kanan, kemudian mengatupkan bibir dan
meletakkan jari telunjuknya ke bibir. “Sssttt...jangan keras-keras, nanti Ganda
dengar...”
“Dik, kamu tahu suamiku? Chakra.
Kamu tahu dia? Tolong, panggil dia...”
“Nggak bisa, maaf.”
“Ke...kenapa nggak?”
“Om Chakra udah mati...aku aja nggak
pernah ketemu dia. Tante udah lama di sini. Kata orang-orang, Tante ini gila.”
“Hah? Apa? Kamu ngomong apa? Kamu
jangan bohong! Mana Chakra?!!!”
“Udah mati, jauh sebelum aku lahir,
enam belas tahun yang lalu.”
“Nggak! Nggak mungkin! Maksud kamu,
a...aku jadi gila dan...”
“Iya, enam belas tahun Tante
dikurung di situ. Kata orang-orang, Tante itu sinting, nggak boleh dideketin.”
“Nggak...aku...AKU NGGAK SINTING!!!”
“Nama Tante siapa? Apa Tante ingat?”
“Namaku Er...Er...” mataku
terbelalak, Mas Chakra selama ini selalu memanggilku dengan sebutan ‘Er’, tapi
Er siapa? Apakah Erna, atau Erika, atau Erin? Ya Tuhan! Tidak mungkin aku
melupakan namaku sendiri!
“Tante...”
“Tunggu! Tunggu dulu!”
“Lihat, rambut Tante udah panjang,
kusut...karena udah lama...”
Aku hampir tak mempercayai
pengelihatanku, namun apa yang dikatakannya benar, rambutku berubah... Bukan
sekedar kusut karena baru bangun tidur, tetapi amat sangat kusut, bau, dan
menjijikkan!
“Arrgghh!!! Kenapa ini?!” kusisir
rambutku dengan jari-jari, tetapi susah!
“Bilang ke Ganda...” gumam anak
perempuan itu dengan berbisik.
“Hah?”
“Tante udah dengar ceritanya kan?
Kalau Ganda itu dedemit di sini? Yang dulunya suka ndaden? Dia yang punya tempat ini. Semua harus apa kata dia.
“Maksud
kamu apa?”
“Om
Chakra udah mati, Tante bisa minta ke Ganda untuk lepasin Tante dari sini,
kalau perlu...emm...Tante bisa minta kekayaan! Ibuku juga minta itu, kekayaan
yang melimpah! Tapi...ujungnya...Ibu nggak akan pernah punya suami.”
“Minta
ke Ganda?”
“Iya...semua
laki-laki harus mati, harus dikasih ke Ganda.”
“Tante
nggak ngerti!”
“Buat
tumbal” jawab anak perempuan yang baru memasuki usia remaja itu dengan
tenangnya. “Nggak ada anak laki-laki, nggak boleh...itu udah turun temurun. Kalau
Tante minta ke Ganda, Tante bisa keluar dari sini, Tante bisa kaya, Tante bisa
cari laki-laki lain, cari lagi dan lagi.”
“Nggak!
Aku nggak mau! Tante nggak mau itu!”
“Tapi
Tante nanti bisa hidup enak!”
“Nggak!”
“Om
Chakra bisa diganti!”
“AKU
NGGAK MAU!!!”
“Kalau
gitu...Tante bakal di sini seterusnya” anak perempuan itu mendengus,
ekspresinya menunjukkan rasa kasihan padaku.
“Aku nggak peduli...kalau Mas Chakra
memang udah mati, aku nggak peduli lagi, aku nggak mau kekayaan, atau laki-laki
lain, aku nggak mau apa-apa...” timpalku mengusap air mata yang mengalir dengan
punggung tangan.
“Prapti...Prapti...”
pada waktu bersamaan muncul lagi seseorang, kali ini sosok wanita memakai gaun
tidur panjang warna pastel.
Aku
mengenali wanita itu, sangat kenal!
“Tante
Jena?!” pekikku. “Kenapa Tante ada di sini? Tante! Mas Chakra...Mas Chakra
mana? Tante tolong...keluarin saya dari sini, Tante! Tolong, Tante!!!”
Tante
Jena menatapku gusar sambil mengerutkan kening, dia menggandeng sosok anak
perempuan bernama Prapti itu. “Sayang, ayo! Nanti siang kita udah balik ke
Jakarta. Ayo! Kamu ini disuruh ganti baju kok nggak ganti-ganti dari tadi? Ibu
capek kasih tahu kamu!”
“Tante!
Tante Jena mau kemana?! Tante!!! Tunggu, Tante! Jelasin dulu...TANTE!!!”
Tante
Jena bersama Prapti segera menghilang dari pandangan, berjalan menuju ruangan
lain.
“TANTE!!!
TANTE JENAAAAAA!!!!!”
Jadi,
ternyata Prapti...anak Tante Jena?
Sementara
itu bau busuk semakin tercium kuat, kucari-cari asalnya, rupanya dari bawah
ranjang. Di sana berserakan bekas piring kotor, ceceran susu, dan sisa-sisa
makanan basi. Aku jadi semakin bingung, tak ada yang bisa kulakukan selain
berteriak keras, meneriakkan nama Mas Chakra.
Ponselku tidak ada...tas,
perlengkapan, semua yang kubawa, semua ikut menghilang!
Ini
pasti lelucon. Ya, ini harusnya lelucon! Ini tidak boleh jadi kenyataan! Ini
harus jadi sekedar mimpi! Mimpi buruk yang sementara!
Aku sudah lelah, kubaringkan tubuhku
di atas ranjang, lalu kutarik selimut sambil berurai air mata, terus berdoa
agar semua ini tidak benar-benar terjadi.
Aku
tidak takut pada Ganda!
Ganda
bukan tandingan Tuhan!
Aku hanya takut Tuhan!
***
“Er...Er...ayo
bangun dong!”
Suara
itu, familiar...
“Wah,
kalau ikut lomba tidur pasti menang nih!”
Kurasakan
sebuah tangan memencet-mencet hidungku, tangan itu bermaksud menggoda.
Aku
membuka mata perlahan, tepat di depanku sebuah wajah yang selama ini selalu
kuharapkan untuk tidak meninggalkanku, meski dalam tidur, meski dalam gelap
malam saat dunia terlelap, nampak jelas... Ya, suamiku yang kucinta...
“Mas
Chakra...” kataku serak sambil menangis, meraih lengannya cepat dan
mendekapnya. Aku meringkuk di bahunya yang hangat sambil terus menangis.
“Lhoh
lhoh lhoh...ini kok...udah bangunnya kesiangan, nangis, pakai manja-manjaan
segala. Kenapa? Sini, cerita...”
“Semalam
aku mimpi nggak enak banget...”
“Wah,
kok beda? Semalam Mas malah mimpi indah, mimpi lihat surga.”
“Nggak
boleh!” kupeluk Mas Chakra makin erat.
“Kok
nggak boleh?”
“Ayo!
Kita jangan lama-lama di villa ini! Ayo cepet pergi yang jauh! Kalau perlu ke
luar kota, ke luar pulau! Pindah dari Jakarta! Pindah ke luar negeri juga nggak
apa-apa!”
“Eh,
ini kamu kenapa sih Er?”
“Er?
Er Er Er, Er siapa?! Jangan panggil Er Er aja, yang lengkap! Panggil Ervita!
Gitu!”
“Kamu
kok jadi aneh gini?” Mas Chakra menatapku bingung, dia memperhatikanku dengan
seksama.
“Nggak,
aku baik-baik aja, Mas. Kita cuma harus pindah jauh se-ce-pat-nya! Dan awas!”
“Awas
apa?”
“Awas
aja kalau kamu ninggalin aku!”
“Ya
ampun, aku nggak bakal selingkuh...”
“Bukan!
Bukan itu! Maksudku...jangan pergi, jangan...errghh...ini rumit!” aku melepas
lengan Mas Chakra dan bangkit, langsung membereskan barang-barang.
Kemudian
aku berjalan ke pintu, memastikan tidak ada jeruji besi lagi di sana, baik di
pintu maupun di jendela manapun, lalu aku mondar-mandir ke ruang tengah, ruang
tamu, kamar, memeriksa keadaan, tak ada siapa-siapa selain aku dan Mas Chakra.
Saat itulah langkahku terhenti, pandanganku tertuju pada sebuah lukisan besar
yang berada di ruang tengah, yang sebelumnya tidak terlalu kuperhatikan,
lukisan itu diberi gorden berwarna kuning menyala, sudah tentu aneh. Aneh!
Aneh! Semua aneh!
Aku
terdiam, potret yang ada di dalam lukisan itu sama persis, sangat mirip dengan
anak perempuan yang mengaku sebagai anak Tante Jena dalam mimpi, anak perempuan
bernama Prapti yang mendatangiku semalam.
Di dalam lukisan dia juga mengenakan kebaya berwarna merah marun,
bedanya rambutnya di situ digelung rapi. Di sebelahnya berdiri sosok laki-laki
Belanda berperawakan tinggi dan berkumis, yang usianya mungkin dua kali lipat
dari usia gadis itu.
“Itu
nenek dan kakek buyutku” kata Mas Chakra menjelaskan, dia sudah berjalan ke
luar dari kamar. “Kemarin kamu kecapekan dan terlalu asyik sama ceritanya Mbok
Ruki, jadi nggak sadar kalau ada lukisan ini di ruang tengah.”
“Itu...Ganda?”
“Iya,
dia memang masih sangat muda waktu dipaksa nikah.”
“Masih
kecil dipaksa nikah sama orang yang jauh lebih tua? Yang seumuran bapaknya
sendiri?”
“Yaaa...orang
dulu” jawab Mas Chakra tidak enak. “Ehem, tapi zaman dulu banget. Yaaa...bisa
apa dia?”
“Jadi...dia
ini Ganda?”
“Iya,
Prapti Ganda Selasih.”
“Prapti?”
“Itu...nama
lengkapnya sih.”
Setelah
cukup mendengarkan penjelasan darinya, kuseret Mas Chakra ke kamar, “Ayo kita
pergi sekarang juga, Mas! Dia, hantunya Ganda ini, ngedatengin aku semalam!
Terserah kamu percaya atau nggak!”
“Lhoh,
eh?”
“Pokoknya
kita pergi sekarang!”
“Kamu
kan cuma mimpi.”
“Nggak!”
“Ayo
dong, cerita dulu kek.”
“NGGAK!
Mas, aku mau tanya! Tante Jena, apa dia punya suami?”
“Errr...dulu
pernah, tapi meninggal, terus dia tunangan, meninggal juga. Kenapa?”
“Ayahnya
Mas Chakra gimana?”
“Ayahku...udah
meninggal lama banget, pas aku masih bayi.”
“Om,
dari sepupu-sepupu ibunya Mas?”
“Errr...banyak
yang meninggal juga, kena stroke, gagal ginjal, diabetes...macam-macam,
penyakit sekarang-lah.”
“Sepupu
Mas, ada yang cowok nggak? Terus yang cewek, apa ada yang udah punya suami?”
“Ini
kamu apa-apaan sih?” Mas Chakra nampak kesal.
“Cepet,
jawab aja!”
“Nggak!
Deka, Lukman, kemarin meninggal kecelakaan dalam satu mobil, kamu ikut juga kan
ke pemakamannya? Terus...Tesya, cuma dia yang baru menikah, lainnya belum.”
“Nah!
Tunggu aja! Tunggu aja!”
“Apanya?”
“Se...semua
nanti perempuan!”
“Lah, terus kenapa?”
“Nggak
ada! Pokoknya ayo pindah! Titik!”
Dari dalam lukisan, Ganda
memperhatikan sembari tersenyum, dia berharap semua ini bisa berakhir. Satu saja
keturunan, satu saja, satu keturunan yang bisa menjauhkan diri dari ketamakan, yang
tidak mendewakan harta benda seperti ayahnya, seperti keturunan-keturunannya,
para perempuan...para calon istri... Mereka akan semakin meyelamatkan Ganda,
mengeluarkannya dari lumpur hitam yang selama ini menghisapnya jauh ke dalam
kenangan dan bisikan cemooh orang...
Ganda bukanlah penyiasat,
Ganda bukanlah pecinta yang dikutuk oleh malam, dia bukan juga malam. Dia hanyalah
seorang gadis, yang sedang menunggu kebebasan...
-THE END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar