Kamis, 03 Oktober 2013

Ganda



Ganda...
Sangkakala bukanlah tandingan Ganda.
Ganda punya cara untuk gagalkan  maut.
Dia penyiasat, meski gelagatnya senyap...
Kalau kau mendengar nama Ganda, pergilah selagi sempat.
Ganda itu pecinta yang dikutuk oleh malam.
Dialah malam.
Dia datang selagi kau terlelap...
         “Nama aslinya itu Ganda Selasih, dia penduduk pribumi yang dipaksa nikah sama mandor, ya tentu mandornya kompeni!” kata Mbok Ruki, penjaga villa milik keluarga suamiku. Setengah kecapaian dia menyeka wajahnya yang keriput dengan kain lap yang sebelumnya dia gunakan untuk membersihkan perabotan.
            “Aduh Mbok, aku udah dengar itu bolak-balik dari ayah, sampai bosen!” sahut suamiku Chakra serambi berjalan memasuki ruang tengah yang perabotannya sudah diganti dengan perabotan modern.
          “Mas Chakra udah, tapi aku kan belum denger. Emang ceritanya serem banget ya?” timpalku, kasihan juga melihat Mbok Ruki yang sudah bersemangat sejak tadi.
 Kami baru saja tiba di Malang, kota kelahiran suamiku. Baru kali ini aku dibawa ke Malang walaupun sudah setahun menikah, karena memang keluarga Chakra tinggal di Jakarta setelah kepala keluarga mereka wafat dua puluh lima tahun yang lalu. Kini Malang hanya menjadi kota asal yang disinggahi setahun sekali jika bosan dengan rutinitas sehari-hari.
Ibu Chakra sudah menjelaskan padaku sebelumnya, akan ada banyak cerita seram tentang villa mereka di Malang, bahkan seluruh penduduk desa mengenalnya sebagai legenda rakyat setempat yang tetap dilestarikan untuk menarik wisatawan lokal. Tante Jena, adik dari Ibu Chakra sampai membangun banyak villa serta menjadikan desa mereka sebagai ladang bisnis sampingan, namun hanya satu villa saja yang tidak disewakan, yaitu villa Ganda Selasih yang letaknya paling jauh dan paling ujung di atas bukit, yang merupakan bangunan lama peninggalan Belanda.
“Nggak usah takut, Er. Villa  ini khusus buat keluarga sendiri, makanya nggak disewakan. Meskipun peninggalan Belanda, orang Belanda-nya kan nenek-kakek buyutku juga” Chakra cengar-cengir.
Mbok Ruki seolah tidak mau tahu, dia malah melanjutkan ceritanya. “Sewaktu hidup, Ganda Selasih memang sering dipanggil Ganda, dia ndak suka namanya, tapi nama itu pemberian bapaknya. Nah, bapaknya yang jual dia ke kompeni, yang jelas, setelah nikah dan punya dua anak sama kompeni itu, Ganda jadi aneh, dia mulai doyan makan kembang, tidur di atas pohon, minum banyu peceren. Itu loh, air yang di got-got, di selokan. Menurut cerita orang-orang tua, Ganda mulai ndaden!”
Ndaden?”
Injeh. Ndaden...berubah, biasanya kalau orang ngilmu, belajar kejawen, terutama yang ilmu hitam, ndaden sudah biasa. Usut punya usut, bapaknya Ganda punya niat jelek, saking tamaknya ingin menguasai seluruh tanah, sampai tanah kompeni juga dikuasai, ya itu caranya, menikahkan anaknya dengan kompeni, terus merubah anaknya jadi dedemitan buat bunuh itu kompeni!”
“Terus, akhirnya gimana, Mbok?” tanyaku penasaran yang mendengarkan dengan seksama cerita Mbok Ruki tanpa teralihkan sedikitpun, meski Chakra berkali-kali memutar bola matanya bosan.
“Suatu malam, tiba-tiba suami Ganda yang kompeni itu teriak keras, langsung semua penjaga rumah ndobrak masuk kamarnya. Orang-orang kaget, takut juga, di dalam kamar itu ada Ganda yang lagi nyesep mbun-mbunan suaminya. Itu...apa toh, yang kayak di film-film, yang vampir itu, tapi ini yang disedot kepalanya, sampai otaknya habis!”
Aku ternganga mendengar cerita Mbok Ruki, tidak berani membayangkan bahwa hal mengerikan tersebut terjadi di villa ini. “Terus, suaminya mati?”
“Ya iya toh! Lah wong otaknya habis disesep! Sudah begitu, Ganda dikeroyok orang-orang, dipukuli dan diseret-seret, Ganda ndak melawan sama sekali...”
“Terus, Mbok?”
“Ya terus Ganda mati. Tapi Non, ndak lama setelah itu dia jadi dedemit, sering seliweran di villa ini.”
Serius, kali ini aku merinding.
“Gentayangan!” lanjut Mbok Ruki dengan mata melotot. “Dulu jamannya saya masih kecil, orang-orang desa sini ndak ada yang berani lewat villa kalau sudah maghrib. Ibunya Den Chakra sendiri diungsikan ke Malang kota, ndak mau tinggal di villa. Takut sama dedemit, hantunya Ganda! Hiiiii...”
“Hus! Mbok Ruki!” damprat Chakra. “Yang sampean omongin itu leluhurku! Ibunya nenek! Kok malah dikata-katain dedemit!”
“Walah Den, Den...ini kan sejarah, wajib dilestarikan.”
“Eh Mbok, bedakan sejarah sama gosip ya!”
Mbok Ruki meringis, rupanya sadar kalau sudah kelewatan. “Maaf Den...injih...injih...”
***

Aku menyisir rambutku sambil bercermin di kamar sendirian, sementara Mas Chakra menyibukkan diri dengan membaca buku di ruang tamu. Banyak pertanyaan di benakku, lebih tepatnya rasa ingin tahu yang diliputi kecemasan. Aku belum pernah berhadapan dengan hal-hal gaib maupun yang berbau klenik, karenanya cerita dari Mbok Ruki membuatku cukup penasaran.
Apa benar Ganda Selasih yang juga nenek buyut Mas Chakra itu benar-benar punya kisah tragis dan meninggal di villa ini? Apa benar dia sungguh-sungguh bergentayangan di sini semenjak kematiannya? Apa benar villa ini berhantu? Hantu Ganda...
“Hayo...kenapa bengong?” tanya Mas Chakra tiba-tiba yang masuk ke kamar kemudian berjalan mendekat dan memelukku.
“Ah, nggak Mas. Aku...lagi mikir, penasaran, nggak tahu kenapa.”
“Tentang apa?”
“Ganda.”
“Ya ampun Er...udah, nggak usah dipikir lagi. Itu semua karangannya orang-orang sini aja. Jangan dipercaya.”
“Iya Mas, tapi...”
 “Takut ya?”
 “Nggak!”
 “Ngaku aja, pasti kamu takut” goda Mas Chakra. “Iya kan?”
 “Nggak! Aku nggak takut!” timpalku lantang seraya menatap Mas Chakra dengan mata melotot.
 “Bener nih?”
 “Iya!”
 “Bener?” nada Mas Chakra serius, ekspresinya juga nampak aneh. Dia tersenyum, tapi senyumnya berbeda dengan yang tadi, kali ini lebih lebar.
              “I...iya. Po...koknya, kalau bareng Mas Chakra aku nggak takut” jawabku terbata.
          “Hahahaha!” Mas Chakra malah tertawa mendengarku. “Kamu ini Er...Er...udah aku duga. Huu! Dasar penakut kamu!” dia mengacak rambutku dengan tangannya, rambutku yang tadinya sudah kusisir rapi jadi berantakan lagi. “Yuk, bobok aja yuk!”
               Aku hanya menghela napas. “Baru jam delapan.”
            Mas Chakra langsung melompat ke atas ranjang, tak mendengarkan kata-kataku, dia malah menguap pelan dan menutupi mukanya dengan bantal.
           Melihat tingkahnya aku kembali sadar, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ada dia di sini...dialah yang selalu membuatku tenang.
              “Ayo cepet sini Er! Yang bobok terakhir dapat hukuman lhoh!”
         Akupun segera melompat ke ranjang, menyusulnya sambil tertawa cekikikan. Kami tertawa bersama-sama.
***

            Tidurku sangat lelap, mungkin aku tak akan bangun kalau saja aku tidak terjatuh dari ranjang. Ya, kebiasaan tidurku yang suka berguling-guling sering kali membuatku terjatuh ke lantai.
  Sempoyongan aku bangkit dari lantai marmer yang dingin, kulihat Mas Chakra masih tertidur lelap di atas ranjang dengan selimut hingga menutupi kepala. Jam di meja, menunjukkan pukul empat pagi.
              “Mas...Mas Chakra, anterin aku ke dapur dong, bentar aja.”
         Kugoyoang-goyang Mas Chakra dengan jari telunjukku, namun dia tidak merespon, bergerak pun tidak.
              “Aku haus, Mas. Mas...”
      Perlahan kutarik selimut yang menutupi tubuhnya, dan aku memekik pelan begitu mengetahui di balik selimut itu hanyalah sebuah guling, bukan Mas Chakra-suamiku.
            Samar-samar kucium bau busuk, antara basi dan bau fermentasi yang menusuk hidung.
            Kenapa mendadak ada bau seperti ini? Batinku.
            “Mas! Mas Chakra!” aku mulai berteriak, beranjak dari ranjang menuju pintu.
            Aku bertambah kaget, saat kubuka pintu kayu jati yang menghubungkan kamar dengan ruang tengah, terdapat jeruji besi yang menghalangi, seperti di penjara-penjara, padahal sebelumnya jeruji itu tidak ada!
Apa-apaan?!
         Aku pun panik, sambil terus berteriak memanggil-manggil Mas Chakra, aku mencoba membuka jendela. Tetapi di balik jendela kamar juga ada jeruji besi, terpasang kokoh dan agak berkarat. Aku berusaha menariknya, membuatnya lepas, melakukan apapun agar jeruji itu bisa  terbuka!
           “TOLONG!!! MAS CHAKRA!!! MAAAAASSSSS!!!”
           Kenapa jadi begini? Apa aku sedang bermimpi?
           Ayo bangun! Bangun!
          Aku beralih lagi menuju jeruji di pintu, di luar sana di ruang tengah nampak sepi, memang tak ada tanda-tanda kehidupan, tapi tidak mungkin jeruji-jeruji ini terpasang dengan tiba-tiba, dan kemana Mas Chakra menghilang?
     “MAAAAASSSSS!!!!!! TOLONG MAAAASSS!!!” aku yang kini ketakutan hanya bisa menangis, berteriak sekeras mungkin dari balik jeruji pintu kamar, berharap siapapun mendengar, siapapun, siapa saja. Kumohon...
         “Ganda...” kata sebuah suara lirih dari luar jeruji pintu.
          Aku terlonjak kaget. Betapa tidak, di hadapanku sesosok anak perempuan yang usianya mungkin belasan tahun, bersorot mata tajam mengenakan kebaya warna merah marun berdiri menatapku sambil menyilangkan kedua tangannya ke depan. Rambut anak itu terurai panjang, ikal, hitam, dan lebat, khas wanita Jawa zaman dahulu.
      Aku tidak bisa berkata apa-apa, mulutku terasa disumpal bongkahan kertas yang tak terlihat, sampai ke tenggorokan! Hal yang langsung melintas di kepalaku hanya satu, hantu!
        “Semua tahu Ganda itu dikutuk, kalau kita dengar nama Ganda, kita harus cepat lari. Dia datangnya malam hari, dia datang saat kita tidur lelap” lanjut anak perempuan itu, dia terus berbicara dengan nada suara yang membuat bulu kuduk merinding. “Tante mungkin lupa, mungkin juga nggak tahu, tapi Ganda nggak peduli...Ganda yang pilih, dia yang pilih Tante.”
         “Dik, tolong keluarkan Tante dari sini, tolong... Ka...kamu bukan hantu kan?”
       Anak perempuan di depanku membalas dengan senyuman, dia menoleh ke kiri-kanan, kemudian mengatupkan bibir dan meletakkan jari telunjuknya ke bibir. “Sssttt...jangan keras-keras, nanti Ganda dengar...”
         “Dik, kamu tahu suamiku? Chakra. Kamu tahu dia? Tolong, panggil dia...”
         “Nggak bisa, maaf.”
         “Ke...kenapa nggak?”
        “Om Chakra udah mati...aku aja nggak pernah ketemu dia. Tante udah lama di sini. Kata orang-orang, Tante ini gila.”
         “Hah? Apa? Kamu ngomong apa? Kamu jangan bohong! Mana Chakra?!!!”
         “Udah mati, jauh sebelum aku lahir, enam belas tahun yang lalu.”
         “Nggak! Nggak mungkin! Maksud kamu, a...aku jadi gila dan...”
        “Iya, enam belas tahun Tante dikurung di situ. Kata orang-orang, Tante itu sinting, nggak boleh dideketin.”
        “Nggak...aku...AKU NGGAK SINTING!!!”
        “Nama Tante siapa? Apa Tante ingat?”
        “Namaku Er...Er...” mataku terbelalak, Mas Chakra selama ini selalu memanggilku dengan sebutan ‘Er’, tapi Er siapa? Apakah Erna, atau Erika, atau Erin? Ya Tuhan! Tidak mungkin aku melupakan namaku sendiri!
         “Tante...”
         “Tunggu! Tunggu dulu!”
         “Lihat, rambut Tante udah panjang, kusut...karena udah lama...”
     Aku hampir tak mempercayai pengelihatanku, namun apa yang dikatakannya benar, rambutku berubah... Bukan sekedar kusut karena baru bangun tidur, tetapi amat sangat kusut, bau, dan menjijikkan!
         “Arrgghh!!! Kenapa ini?!” kusisir rambutku dengan jari-jari, tetapi susah!
         “Bilang ke Ganda...” gumam anak perempuan itu dengan berbisik.
         “Hah?”
        “Tante udah dengar ceritanya kan? Kalau Ganda itu dedemit di sini? Yang dulunya suka ndaden? Dia yang punya tempat ini. Semua harus apa kata dia.
          “Maksud kamu apa?”
       “Om Chakra udah mati, Tante bisa minta ke Ganda untuk lepasin Tante dari sini, kalau perlu...emm...Tante bisa minta kekayaan! Ibuku juga minta itu, kekayaan yang melimpah! Tapi...ujungnya...Ibu nggak akan pernah punya suami.”
“Minta ke Ganda?”
“Iya...semua laki-laki harus mati, harus dikasih ke Ganda.”
“Tante nggak ngerti!”
“Buat tumbal” jawab anak perempuan yang baru memasuki usia remaja itu dengan tenangnya. “Nggak ada anak laki-laki, nggak boleh...itu udah turun temurun. Kalau Tante minta ke Ganda, Tante bisa keluar dari sini, Tante bisa kaya, Tante bisa cari laki-laki lain, cari lagi dan lagi.”
“Nggak! Aku nggak mau! Tante nggak mau itu!”
“Tapi Tante nanti bisa hidup enak!”
“Nggak!”
“Om Chakra bisa diganti!”
“AKU NGGAK MAU!!!”
“Kalau gitu...Tante bakal di sini seterusnya” anak perempuan itu mendengus, ekspresinya menunjukkan rasa kasihan padaku.
            “Aku nggak peduli...kalau Mas Chakra memang udah mati, aku nggak peduli lagi, aku nggak mau kekayaan, atau laki-laki lain, aku nggak mau apa-apa...” timpalku mengusap air mata yang mengalir dengan punggung tangan.
“Prapti...Prapti...” pada waktu bersamaan muncul lagi seseorang, kali ini sosok wanita memakai gaun tidur panjang warna pastel.
Aku mengenali wanita itu, sangat kenal!
“Tante Jena?!” pekikku. “Kenapa Tante ada di sini? Tante! Mas Chakra...Mas Chakra mana? Tante tolong...keluarin saya dari sini, Tante! Tolong, Tante!!!”
Tante Jena menatapku gusar sambil mengerutkan kening, dia menggandeng sosok anak perempuan bernama Prapti itu. “Sayang, ayo! Nanti siang kita udah balik ke Jakarta. Ayo! Kamu ini disuruh ganti baju kok nggak ganti-ganti dari tadi? Ibu capek kasih tahu kamu!”
“Tante! Tante Jena mau kemana?! Tante!!! Tunggu, Tante! Jelasin dulu...TANTE!!!”
Tante Jena bersama Prapti segera menghilang dari pandangan, berjalan menuju ruangan lain.
“TANTE!!! TANTE JENAAAAAA!!!!!”
Jadi, ternyata Prapti...anak Tante Jena?
Sementara itu bau busuk semakin tercium kuat, kucari-cari asalnya, rupanya dari bawah ranjang. Di sana berserakan bekas piring kotor, ceceran susu, dan sisa-sisa makanan basi. Aku jadi semakin bingung, tak ada yang bisa kulakukan selain berteriak keras, meneriakkan nama Mas Chakra.
            Ponselku tidak ada...tas, perlengkapan, semua yang kubawa, semua ikut menghilang!
Ini pasti lelucon. Ya, ini harusnya lelucon! Ini tidak boleh jadi kenyataan! Ini harus jadi sekedar mimpi! Mimpi buruk yang sementara!
            Aku sudah lelah, kubaringkan tubuhku di atas ranjang, lalu kutarik selimut sambil berurai air mata, terus berdoa agar semua ini tidak benar-benar terjadi.
Aku tidak takut pada Ganda!
Ganda bukan tandingan Tuhan!
Aku  hanya takut Tuhan!
***

“Er...Er...ayo bangun dong!”
Suara itu, familiar...
“Wah, kalau ikut lomba tidur pasti menang nih!”
Kurasakan sebuah tangan memencet-mencet hidungku, tangan itu bermaksud menggoda.
Aku membuka mata perlahan, tepat di depanku sebuah wajah yang selama ini selalu kuharapkan untuk tidak meninggalkanku, meski dalam tidur, meski dalam gelap malam saat dunia terlelap, nampak jelas... Ya, suamiku yang kucinta...
“Mas Chakra...” kataku serak sambil menangis, meraih lengannya cepat dan mendekapnya. Aku meringkuk di bahunya yang hangat sambil terus menangis.
“Lhoh lhoh lhoh...ini kok...udah bangunnya kesiangan, nangis, pakai manja-manjaan segala. Kenapa? Sini, cerita...”
“Semalam aku mimpi nggak enak banget...”
“Wah, kok beda? Semalam Mas malah mimpi indah, mimpi lihat surga.”
“Nggak boleh!” kupeluk Mas Chakra makin erat.
“Kok nggak boleh?”
“Ayo! Kita jangan lama-lama di villa ini! Ayo cepet pergi yang jauh! Kalau perlu ke luar kota, ke luar pulau! Pindah dari Jakarta! Pindah ke luar negeri juga nggak apa-apa!”
“Eh, ini kamu kenapa sih Er?”
“Er? Er Er Er, Er siapa?! Jangan panggil Er Er aja, yang lengkap! Panggil Ervita! Gitu!”
“Kamu kok jadi aneh gini?” Mas Chakra menatapku bingung, dia memperhatikanku dengan seksama.
“Nggak, aku baik-baik aja, Mas. Kita cuma harus pindah jauh se-ce-pat-nya! Dan awas!”
“Awas apa?”
“Awas aja kalau kamu ninggalin aku!”
“Ya ampun, aku nggak bakal selingkuh...”
“Bukan! Bukan itu! Maksudku...jangan pergi, jangan...errghh...ini rumit!” aku melepas lengan Mas Chakra dan bangkit, langsung membereskan barang-barang.
Kemudian aku berjalan ke pintu, memastikan tidak ada jeruji besi lagi di sana, baik di pintu maupun di jendela manapun, lalu aku mondar-mandir ke ruang tengah, ruang tamu, kamar, memeriksa keadaan, tak ada siapa-siapa selain aku dan Mas Chakra. Saat itulah langkahku terhenti, pandanganku tertuju pada sebuah lukisan besar yang berada di ruang tengah, yang sebelumnya tidak terlalu kuperhatikan, lukisan itu diberi gorden berwarna kuning menyala, sudah tentu aneh. Aneh! Aneh! Semua aneh!
Aku terdiam, potret yang ada di dalam lukisan itu sama persis, sangat mirip dengan anak perempuan yang mengaku sebagai anak Tante Jena dalam mimpi, anak perempuan bernama Prapti yang mendatangiku semalam.  Di dalam lukisan dia juga mengenakan kebaya berwarna merah marun, bedanya rambutnya di situ digelung rapi. Di sebelahnya berdiri sosok laki-laki Belanda berperawakan tinggi dan berkumis, yang usianya mungkin dua kali lipat dari usia gadis itu.
“Itu nenek dan kakek buyutku” kata Mas Chakra menjelaskan, dia sudah berjalan ke luar dari kamar. “Kemarin kamu kecapekan dan terlalu asyik sama ceritanya Mbok Ruki, jadi nggak sadar kalau ada lukisan ini di ruang tengah.”
“Itu...Ganda?”
“Iya, dia memang masih sangat muda waktu dipaksa nikah.”
“Masih kecil dipaksa nikah sama orang yang jauh lebih tua? Yang seumuran bapaknya sendiri?”
“Yaaa...orang dulu” jawab Mas Chakra tidak enak. “Ehem, tapi zaman dulu banget. Yaaa...bisa apa dia?”
“Jadi...dia ini Ganda?”
“Iya, Prapti Ganda Selasih.”
“Prapti?”
“Itu...nama lengkapnya sih.”
Setelah cukup mendengarkan penjelasan darinya, kuseret Mas Chakra ke kamar, “Ayo kita pergi sekarang juga, Mas! Dia, hantunya Ganda ini, ngedatengin aku semalam! Terserah kamu percaya atau nggak!”
“Lhoh, eh?”
“Pokoknya kita pergi sekarang!”
“Kamu kan cuma mimpi.”
“Nggak!”
“Ayo dong, cerita dulu kek.”
“NGGAK! Mas, aku mau tanya! Tante Jena, apa dia punya suami?”
“Errr...dulu pernah, tapi meninggal, terus dia tunangan, meninggal juga. Kenapa?”
“Ayahnya Mas Chakra gimana?”
“Ayahku...udah meninggal lama banget, pas aku masih bayi.”
“Om, dari sepupu-sepupu ibunya Mas?”
“Errr...banyak yang meninggal juga, kena stroke, gagal ginjal, diabetes...macam-macam, penyakit sekarang-lah.”
“Sepupu Mas, ada yang cowok nggak? Terus yang cewek, apa ada yang udah punya suami?”
“Ini kamu apa-apaan sih?” Mas Chakra nampak kesal.
“Cepet, jawab aja!”
“Nggak! Deka, Lukman, kemarin meninggal kecelakaan dalam satu mobil, kamu ikut juga kan ke pemakamannya? Terus...Tesya, cuma dia yang baru menikah, lainnya belum.”
“Nah! Tunggu aja! Tunggu aja!”
“Apanya?”
“Se...semua nanti perempuan!”
Lah, terus kenapa?”
“Nggak ada! Pokoknya ayo pindah! Titik!”
Dari dalam lukisan, Ganda memperhatikan sembari tersenyum, dia berharap semua ini bisa berakhir. Satu saja keturunan, satu saja, satu keturunan yang bisa menjauhkan diri dari ketamakan, yang tidak mendewakan harta benda seperti ayahnya, seperti keturunan-keturunannya, para perempuan...para calon istri... Mereka akan semakin meyelamatkan Ganda, mengeluarkannya dari lumpur hitam yang selama ini menghisapnya jauh ke dalam kenangan dan bisikan cemooh orang...
Ganda bukanlah penyiasat, Ganda bukanlah pecinta yang dikutuk oleh malam, dia bukan juga malam. Dia hanyalah seorang gadis, yang sedang menunggu kebebasan...
-THE END-





Tidak ada komentar:

Posting Komentar