The Angel From The Hole
Levan mendekapku erat, baru
kali ini...dalam seumur hidupku, baru pertama ini aku berada sangat dekat
dengannya. Jadi begini bau tubuh Levan jika diendus dari dekat?
Rasanya...seperti mencium aroma angin di tepian bukit. Menggelitik, membuat
tenang, bebas, membuatku lupa akan kengerian yang diciptakannya.
Levan...
Kusentuh perlahan lengannya
yang mendekapku dengan jemari tangan kanan. Oh Tuhan...aku menyentuhnya!
Aku tersenyum sendiri, lalu
bergumam padanya, “Kenapa nggak dari dulu kita kayak gini?”
Levan balas senyum,
sementara aku berusaha menggali lebih dalam lagi tentang arti senyumannya itu.
Tak kuhiraukan seruan keras dari Ovi dan Shanti, dan Lukman, dan teman-teman
yang lain. “Mereka...ngapain sih teriak-teriak?” batinku. Aku sudah sedekat ini
dengan Levan...
Tapi tunggu! Apa dia serius?
“Lo itu terlalu baik,
terlalu polos, terlalu indah untuk ada di sini... Lo mau nggak jadi malaikat?”
tanyanya.
Senyum Levan makin lebar.
Sekarang aku tahu, dia serius.
Mendadak aku jadi takut...
***
Bisakah
kau membedakan mana hal-hal yang harus dan yang tidak harus didengar? Mana yang
boleh dan tidak boleh dilakukan setelah kau mendengarnya? Jika kau, di suatu
tempat, bertemu dengan salah seorang temanku yang bernama Levan, jangan
mengatakan hal yang tidak-tidak padanya! Jangan pernah! Sebab dia sangat mudah
terinspirasi. Bukan, ini bukan berarti dia pendengar yang baik atau orang yang
kreatif. Agak susah menjelaskannya, karena itulah aku akan bercerita saja.
Ini
terjadi beberapa hari yang lalu, di akhir bulan Juni. Asal kau tahu, beritanya
masih terus terdengar hingga sekarang.
Semua
orang mengira Levan baik-baik saja. Ya, aku pun yakin dia awalnya baik-baik
saja, jauh sebelum kakak perempuannya meninggal dunia dan dia harus tinggal
berdua bersama adik laki-lakinya yang masih TK, menunggu ada kerabat yang
menawarkan hak asuh. Ya ampun...menawarkan... Kalau menurutmu itu kurang
menyedihkan, maka cerita ini akan nampak biasa-biasa saja untuk seterusnya. Tapi
jangan khawatir, bagaimanapun juga akan tetap kulanjutkan.
Levan
tidak punya ayah ataupun ibu, hanya seorang kakak perempuan bernama Lusi yang
sudah bekerja dan membiayainya beserta adik kecilnya selama tiga tahun terakhir.
Lagipula, hanya Lusi yang dia mau, hanya Lusi yang setia bersamanya. Ayah dan
ibunya sudah bercerai, mereka sama-sama menikah dan punya keluarga
sendiri-sendiri, kurang begitu peduli dengan anak-anak dari pernikahan pertama
mereka kurasa. Itulah kenapa Levan lebih suka dibilang yatim piatu, ayah ibunya
sudah lama mati sejak mereka meninggalkannya demi keluarga yang lebih baik.
Aku
tahu almarhum Kak Lusi semasa hidup adalah seorang pekerja keras. Tentu aku
tahu, kebetulan kami bertetangga, kebetulan juga ibuku sering menjaga adiknya
yang paling bungsu ketika Kak Lusi harus lembur atau kerja kesana-kemari. Aku
kasian melihat Kak Lusi yang tidak punya waktu untuk merawat dirinya sendiri,
dia sudah harus menjadi sosok ibu sekaligus ayah dalam keluarga kecilnya,
padahal usianya baru dua puluh tahun.
Aku
tidak akan bercerita banyak-banyak tentang Kak Lusi, namun sebelum bicara lebih
jauh mengenai Levan, perlu kujelaskan sedikit tentang apa yang adiknya katakan
di sela-sela istirahat makan siang di TK Persada Indah beberapa waktu lalu.
Adik
laki-laki Levan yang bernama Rega itu kebetulan satu sekolah dengan adik
laki-lakiku Dimas, kebetulan juga mereka sering bermain bersama, dan kebetulan
juga ibuku sering menguping pembicaraan bocah-bocah itu, yang kemudian
disampaikannya padaku.
“Ayo
Dim, main tebak-tebakan!” ajak Rega antusias.
“Ayo”
jawab adikku Dimas. Berdasarkan cerita ibuku, saat itu mereka berdua sedang asyik
bermain pasir di luar kelas.
“Tanya-jawab
ya! Aku yang nanya, kamu yang jawab.”
“Oke!”
“Mmm...dari
mana datangnya...mmm...malaikat?”
“Hhh?
Apa Ga? Malaikat?”
“Iya!
Ayo jawab!”
“Yang
punya sayap itu?”
“Iya.”
“Kalau
kata ibuku...malaikat...itu...kalau nggak salah...datangnya dari langit. Itu
jauh, jauuuuuuhhh...dari sana!” Dimas menunjuk langit yang biru di atas mereka.
“Salah!”
“Salah
ya?”
“Kamu
salah. Ahahahaha...itu bohong, Dim!”
“Terus?”
“Malaikat
itu datangnya dari dalam lubang” tukas Rega meyakinkan.
“Lubang?
Dalam tanah? Di dalam sini?” adikku yang polos mulai menggali-gali pasir.
Rega
mengangguk bersemangat. “Iya! Iya! Kan malaikat itu cantik, baik...sama kayak
Kak Lusi. Kak Lusi juga cantik, baiiiikkk juga, sama kayak malaikat. Jadi, Kak
Lusi itu malaikat.”
“Tapi
Ga...Kak Lusi kan nggak punya sayap. Malaikat punya.”
Rega
diam...
Saat
itulah Levan datang, berdiri di belakang dua bocah kecil yang sedang bermain
itu, adik-adik kami.
Ibuku
kaget juga melihat Levan, harusnya dia berada di sekolah. Kalau Levan berdiri
di sana, berarti dia bolos.
“Kak
Lusi juga punya sayap! Tapi belum tumbuh...” lanjut Rega setelah lama menatap
murung pasir di sepatunya. “Iya kan, Kak?” wajahnya langsung ceria begitu
melihat sebuah bayangan melebihi tingginya, dia menoleh ke belakang dan
mendapati Levan yang tersenyum kecil.
“Iya...belum
tumbuh” kata Levan lirih.
“Terus
tumbuhnya kapan, Kak?”
“Nanti,
kalau udah tumbuh pasti kita tahu.”
“Tapi...kenapa
malaikat ada di dalam lubang?” tanya adikku lagi yang makin penasaran.
“Karena...mmm...”
“Karena
Kak Lusi dikubur di dalam tanah! Iya kan, Kak?” sahut Rega cepat. “Iya kan?”
“Eh,
itu...mmm...iya” Levan menunduk saja, tak
berani berkata tidak, tak berani menatap mata adikku, dan dia tidak punya
keberanian untuk mengatakan apapun yang menyakiti adiknya.
Di
rumah, ibuku kembali menjelaskan pada adikku Dimas kalau malaikat itu berasal
dari langit dan bukannya dari lubang dalam tanah. Menurut ibu, pemikiran
mengenai malaikat yang berasal dari liang kubur itu bisa memberikan efek trauma
pada anak seumuran adikku. Ibu menanggapi ini terlalu serius, padahal menurutku
justru lucu...awalnya.
***
Sekarang,
mari bicara tentang Levan. Dia tidak jauh lebih tua atau lebih muda dariku,
kami seumuran. Kebetulan kami satu sekolah, kebetulan juga kami sekelas. Itulah
sebabnya aku sangat mengerti Levan. Dia tidak berbeda dengan anak-anak lain
susia kami yang baru menginjak remaja. Menginjak umur enam belas tahun, Levan
juga punya banyak teman bermain, punya banyak kegiatan di sekolah. Karate,
basket, band, semua dia jago. Tentu
banyak cewek yang mengejarnya, tak terkecuali aku.
Ya,
aku pun menyukai Levan. Justru aneh kalau tidak! Aku mengetahui kesehariannya
dibandingkan dengan cewek-cewek lain, akulah yang paling tahu mengenai
seluk-beluk hidupnya, aku yang paling dekat dengan kakak perempuan dan adik
laki-lakinya, akulah yang mengerti masalah-masalahnya, aku selalu bersekolah di
sekolah yang sama dengannya sejak playgroup.
Dari sudut manapun, aku yang paling mengerti! Jadi aku wajib menyukainya!
Tapi
Levan tidak pernah menunjukkan rasa suka pada siapapun. Dia itu kelewat
pendiam, dingin, bukan angkuh...lebih pada...kesepian, kesepian namun terus
memendam semuanya seorang diri, dia sulit terbuka pada orang lain. Mungkin
karena masalah-masalahnya, mungkin karena hidupnya.
Aku
tak peduli dengan apapun yang orang katakan tentang Levan setelah peristiwa
itu. Bahkan aku tak peduli dengan ocehan ibuku, cacian ibuku padanya justru
tidak patut menurutku. Harus ada yang mengerti Levan! Sayangnya...orang-orang
di luar sana keburu berperspektif sama tentangnya, sama-sama buruk.
Hari
senin itu...aku tak tahu bahwa itu adalah hari dimana dia akan benar-benar
bertindak jauh di luar batas, itu terekam jelas dalam ingatanku. Kulihat Levan
berdiri berjam-jam di depan papan pengumuman setelah seorang murid senior
menyuruhnya untuk berpartisipasi dalam acara perpisahan kelas di akhir bulan
Juni. Tema kali ini adalah...”Heaven On Earth”.
Tak
ada seorangpun di sekolah kami yang lebih bahagia dibandingkan Levan, dia
diam-diam merencanakan sesuatu untuk memeriahkan pesta. Ya, memang tugasnya
adalah memeriahkan acara. “Dekorasinya jangan murahan, pokoknya semua tanggung
jawab lo, Van! Ngerti?” itu kata Bayu, salah seorang murid senior yang juga merupakan anggota OSIS.
“Dekor
yang gimana mau lo?”
“Terserah.
Yang jelas cocok sama tema, Heaven On Earth. Nah, yang namanya heaven, berarti indah, banyak
bunga-bunga...ada malaikatnya juga, atau apa kek, awan-awan gitu...asap...apa
aja yang indah-indah. Yang klise! Bawa burung merpati malah lebih bagus.”
Norak,
batin Levan. Tapi jangan khawatir, Levan itu kreatif...dia itu paham estetika.
Masalahnya, Bayu tidak tahu bahwa hari itu adalah hari dimana Levan akan
bertindak di luar akal sehat dengan mengesampingkan estetika.
“Oke.”
Levan mengiyakan.
***
Tanyakan
pada anak-anak di sekolahku, bagaimana acara perpisan kelas di akhir bulan Juni
lalu, maka semua akan bergidik, enggan, mungkin mereka akan diam, beberapa yang
punya keberanian kujamin akan berkoar dengan lantang tentang...‘siapa lagi
kalau bukan Levan’.
Acara
dimulai pukul tujuh malam, aku ikut membantu dengan menjadi panitia konsumsi.
Bayu dan tiga senior lain mulai marah-marah, Levan belum datang juga, padahal
dia bertindak sebagai penanggung jawab dekorasi dan kelengkapan acara. Dekorasi
memang sudah lengkap, sesuai dengan yang diharapkan, sangat indah...hasil karya
Levan, tapi ada yang kurang. Levan menyisakan sebuah tempat luas di atas
panggung, dia bilang itu untuk dekorasi utamanya. Diapun pergi, namun dua jam
berlalu dan dia tidak juga kembali.
Ada
yang salah...
Itu
benar, sudah pasti ada yang salah saat itu.
Mendekati
pukul delapan, sebuah teriakan nyaring penuh kengerian memecah suasana yang tadinya
tenang beralun musik-musik jazz.
Teriakan itu semakin bertambah riuh, semakin merambat dari gerbang hingga ke
lorong, hingga ke aula, diiringi bunyi langkah derap kaki tak beraturan. Aku
yang ada di dalam aula menunggu-nunggu, ingin mengetahui penyebab kegaduhan itu,
sama halnya dengan senior-senior lain yang berada di dalam aula.
Betapa
kagetnya kami, dari arah pintu aula, Levan yang memakai kaos putih dan kemeja biru
berjalan susah payah memasuki aula, wajahnya belepotan bercampur peluh. Dia
menyeret sesuatu di balik punggungnya. Bunyi “Srek! Srek!” yang meninggalkan
jejak tanah becek di lantai membuat bulu kudukku berdiri! Aku tidak bisa
berkata apa-apa, itu...adalah pemandangan paling mengerikan yang pernah
kulihat.
Levan
sedang menyeret sesuatu, sesosok, entah...aku yakin itu mayat yang sudah
membusuk, dibungkus dengan tikar! Baunya menyengat kemana-mana, memenuhi aula.
Dengan
cepat kusadari, itu mayat Kak Lusi...
Spontan
seisi aula berlarian akibat pemandangan tersebut. Bukan hanya takut, tapi jijik,
tidak percaya, tidak sudi, tidak betah baunya!
Semua
tahu di belakang sekolah kami terdapat pemakaman umum, tapi hanya sedikit yang
tahu kalau kakak perempuan Levan dimakamkan di sana.
“Bukannya
malaikat yang mereka mau?” tukas Levan dengan senyum putus asa dari sudut
bibirnya.
Levan
Levan...jadi itu yang ada di kepalanya?
***
“Seorang
Siswa SMA Hebohkan Acara Sekolah”
Jakarta
- SMA Kalista Permai di Jalan Kalihusada
Timur, kemarin (13/6/2012) dikejutkan oleh aksi nekat salah seorang muridnya
yang berinisial LN (16, laki-laki). Pasalnya LN datang ke sekolah pukul 20:22
WIB, senin dini hari, dengan membawa mayat seorang wanita yang dibungkus dalam
tikar, tepat ketika acara perpisahan murid berlangsung. Menurut saksi mata, mayat tersebut merupakan
mayat saudara perempuan LN yang sudah dikuburkan kurang lebih tiga bulan yang
lalu di TPU Pondok Cemara. Aksi LN membawa mayat ke sekolah dilanjutkannya
dengan aksi pembunuhan AM (16, perempuan) yang juga merupakan murid SMA Kalista
Permai. AM menjadi korban pembunuhan sadis pelaku setelah berusaha mendekati
dan bicara untuk mencari tahu alasan LN yang tiba-tiba bertindak di luar
kewajaran tersebut. Na’as, leher AM justru dijerat dengan tali yang dibawa LN
untuk menyeret mayat. AM pun tewas seketika di depan teman-temannya yang hadir
di acara malam itu.
“Kami
teriak, jangan dekat-dekat dia! Jangan dekat-dekat! Dia udah nggak waras! Tapi
malah nggak didengar. Kami kira nggak mungkin lah sampai jatuh korban, tapi
ternyata salah, dan kejadiannya itu terlalu cepat!” ungkap Oktarina Ovi (16),
murid SMA Kalista Permai, warga Purwaswara. Oktarina menjelaskan bahwa pelaku
dan korban memang bertetangga, namun tidak akrab ataupun memiliki hubungan
dekat.
Pelaku
yang diduga kuat memiliki gangguan psikologis tersebut sudah dibekuk petugas
dan dalam pengawasan ketat. Hingga berita ini dilansir belum terungkap jelas
motif pelaku melakukan aksi nekat yang berakhir dengan pembunuhan itu. Pihak
berwajib akan terus mengusut kasus ini sampai tuntas dengan meminta keterangan
selengkapnya dari LN.
“Menurut
teman-temannya, pelaku adalah murid yang pendiam, selalu tampak normal,
sehari-harinya juga bersikap baik, berprestasi malah. Bisa jadi tindakannya
yang buruk itu dipicu oleh tekanan dari keluarga dan sekolah. Saat ditanya, dia
hanya meracau dan tertawa. Kami berencana untuk membawanya ke rumah sakit guna
penyidikan lebih lanjut” ungkap AKP Agung Leksmono, Selasa (14/6/2012).
***
Kata
orang, Levan pikir kakaknya yang sudah mati adalah malaikat, Levan sendiri tidak lagi bisa berpikir sehat. Levan sudah
lama tertekan dan jadi sinting. Tapi aku yang paling mengerti tentangnya, aku
yang tahu!
Aku
masih menyukainya? Tentu! Itu sudah pasti!
Jangan
salahkan dia, jangan marah padanya, semua orang pasti pernah segila Levan.
Tidak apa-apa jika dia dan adiknya sependapat bahwa malaikat berasal dari dalam
lubang. Tidak ada yang salah akan itu, semua orang juga berhak berpikir sesuka
hati mereka. Tapi sekali lagi kuingatkan, ini hanya untuk mengurangi kekacauan
yang lebih besar. Pokoknya, jangan mengatakan hal yang tidak-tidak pada Levan,
karena dia berbeda, sejak saat itu dia jadi mudah terinspirasi. Mereka bilang
Levan gila, tapi di mataku dia cukup normal, Levan cuma cari perhatian. Ya, dan
Kak Lusi setuju denganku...
***
-THE END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar