Kamis, 03 Oktober 2013

Malaikat dari Dalam Lubang

The Angel From The Hole

Levan mendekapku erat, baru kali ini...dalam seumur hidupku, baru pertama ini aku berada sangat dekat dengannya. Jadi begini bau tubuh Levan jika diendus dari dekat? Rasanya...seperti mencium aroma angin di tepian bukit. Menggelitik, membuat tenang, bebas, membuatku lupa akan kengerian yang diciptakannya.
Levan...
Kusentuh perlahan lengannya yang mendekapku dengan jemari tangan kanan. Oh Tuhan...aku menyentuhnya!
Aku tersenyum sendiri, lalu bergumam padanya, “Kenapa nggak dari dulu kita kayak gini?”
Levan balas senyum, sementara aku berusaha menggali lebih dalam lagi tentang arti senyumannya itu. Tak kuhiraukan seruan keras dari Ovi dan Shanti, dan Lukman, dan teman-teman yang lain. “Mereka...ngapain sih teriak-teriak?” batinku. Aku sudah sedekat ini dengan Levan...
Tapi tunggu! Apa dia serius?
“Lo itu terlalu baik, terlalu polos, terlalu indah untuk ada di sini... Lo mau nggak jadi malaikat?” tanyanya.
Senyum Levan makin lebar. Sekarang aku tahu, dia serius.
Mendadak aku jadi takut...
***

Bisakah kau membedakan mana hal-hal yang harus dan yang tidak harus didengar? Mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan setelah kau mendengarnya? Jika kau, di suatu tempat, bertemu dengan salah seorang temanku yang bernama Levan, jangan mengatakan hal yang tidak-tidak padanya! Jangan pernah! Sebab dia sangat mudah terinspirasi. Bukan, ini bukan berarti dia pendengar yang baik atau orang yang kreatif. Agak susah menjelaskannya, karena itulah aku akan bercerita saja.
Ini terjadi beberapa hari yang lalu, di akhir bulan Juni. Asal kau tahu, beritanya masih terus terdengar hingga sekarang.
Semua orang mengira Levan baik-baik saja. Ya, aku pun yakin dia awalnya baik-baik saja, jauh sebelum kakak perempuannya meninggal dunia dan dia harus tinggal berdua bersama adik laki-lakinya yang masih TK, menunggu ada kerabat yang menawarkan hak asuh. Ya ampun...menawarkan... Kalau menurutmu itu kurang menyedihkan, maka cerita ini akan nampak biasa-biasa saja untuk seterusnya. Tapi jangan khawatir, bagaimanapun juga akan tetap kulanjutkan.
Levan tidak punya ayah ataupun ibu, hanya seorang kakak perempuan bernama Lusi yang sudah bekerja dan membiayainya beserta adik kecilnya selama tiga tahun terakhir. Lagipula, hanya Lusi yang dia mau, hanya Lusi yang setia bersamanya. Ayah dan ibunya sudah bercerai, mereka sama-sama menikah dan punya keluarga sendiri-sendiri, kurang begitu peduli dengan anak-anak dari pernikahan pertama mereka kurasa. Itulah kenapa Levan lebih suka dibilang yatim piatu, ayah ibunya sudah lama mati sejak mereka meninggalkannya demi keluarga yang lebih baik.
Aku tahu almarhum Kak Lusi semasa hidup adalah seorang pekerja keras. Tentu aku tahu, kebetulan kami bertetangga, kebetulan juga ibuku sering menjaga adiknya yang paling bungsu ketika Kak Lusi harus lembur atau kerja kesana-kemari. Aku kasian melihat Kak Lusi yang tidak punya waktu untuk merawat dirinya sendiri, dia sudah harus menjadi sosok ibu sekaligus ayah dalam keluarga kecilnya, padahal usianya baru dua puluh tahun.
Aku tidak akan bercerita banyak-banyak tentang Kak Lusi, namun sebelum bicara lebih jauh mengenai Levan, perlu kujelaskan sedikit tentang apa yang adiknya katakan di sela-sela istirahat makan siang di TK Persada Indah beberapa waktu lalu.
Adik laki-laki Levan yang bernama Rega itu kebetulan satu sekolah dengan adik laki-lakiku Dimas, kebetulan juga mereka sering bermain bersama, dan kebetulan juga ibuku sering menguping pembicaraan bocah-bocah itu, yang kemudian disampaikannya padaku.
“Ayo Dim, main tebak-tebakan!” ajak Rega antusias.
“Ayo” jawab adikku Dimas. Berdasarkan cerita ibuku, saat itu mereka berdua sedang asyik bermain pasir di luar kelas.
“Tanya-jawab ya! Aku yang nanya, kamu yang jawab.”
“Oke!”
“Mmm...dari mana datangnya...mmm...malaikat?”
“Hhh? Apa Ga? Malaikat?”
“Iya! Ayo jawab!”
“Yang punya sayap itu?”
“Iya.”
“Kalau kata ibuku...malaikat...itu...kalau nggak salah...datangnya dari langit. Itu jauh, jauuuuuuhhh...dari sana!” Dimas menunjuk langit yang biru di atas mereka.
“Salah!”
“Salah ya?”
“Kamu salah. Ahahahaha...itu bohong, Dim!”
“Terus?”
“Malaikat itu datangnya dari dalam lubang” tukas Rega meyakinkan.
“Lubang? Dalam tanah? Di dalam sini?” adikku yang polos mulai menggali-gali pasir.
Rega mengangguk bersemangat. “Iya! Iya! Kan malaikat itu cantik, baik...sama kayak Kak Lusi. Kak Lusi juga cantik, baiiiikkk juga, sama kayak malaikat. Jadi, Kak Lusi itu malaikat.”
“Tapi Ga...Kak Lusi kan nggak punya sayap. Malaikat punya.”
Rega diam...
Saat itulah Levan datang, berdiri di belakang dua bocah kecil yang sedang bermain itu, adik-adik kami.
Ibuku kaget juga melihat Levan, harusnya dia berada di sekolah. Kalau Levan berdiri di sana, berarti dia bolos.
“Kak Lusi juga punya sayap! Tapi belum tumbuh...” lanjut Rega setelah lama menatap murung pasir di sepatunya. “Iya kan, Kak?” wajahnya langsung ceria begitu melihat sebuah bayangan melebihi tingginya, dia menoleh ke belakang dan mendapati Levan yang tersenyum kecil.
“Iya...belum tumbuh” kata Levan lirih.
“Terus tumbuhnya kapan, Kak?”
“Nanti, kalau udah tumbuh pasti kita tahu.”
“Tapi...kenapa malaikat ada di dalam lubang?” tanya adikku lagi yang makin penasaran.
“Karena...mmm...”
“Karena Kak Lusi dikubur di dalam tanah! Iya kan, Kak?” sahut Rega cepat. “Iya kan?”
“Eh, itu...mmm...iya” Levan menunduk saja, tak  berani berkata tidak, tak berani menatap mata adikku, dan dia tidak punya keberanian untuk mengatakan apapun yang menyakiti adiknya.
Di rumah, ibuku kembali menjelaskan pada adikku Dimas kalau malaikat itu berasal dari langit dan bukannya dari lubang dalam tanah. Menurut ibu, pemikiran mengenai malaikat yang berasal dari liang kubur itu bisa memberikan efek trauma pada anak seumuran adikku. Ibu menanggapi ini terlalu serius, padahal menurutku justru lucu...awalnya.
***
Sekarang, mari bicara tentang Levan. Dia tidak jauh lebih tua atau lebih muda dariku, kami seumuran. Kebetulan kami satu sekolah, kebetulan juga kami sekelas. Itulah sebabnya aku sangat mengerti Levan. Dia tidak berbeda dengan anak-anak lain susia kami yang baru menginjak remaja. Menginjak umur enam belas tahun, Levan juga punya banyak teman bermain, punya banyak kegiatan di sekolah. Karate, basket, band, semua dia jago. Tentu banyak cewek yang mengejarnya, tak terkecuali aku.
Ya, aku pun menyukai Levan. Justru aneh kalau tidak! Aku mengetahui kesehariannya dibandingkan dengan cewek-cewek lain, akulah yang paling tahu mengenai seluk-beluk hidupnya, aku yang paling dekat dengan kakak perempuan dan adik laki-lakinya, akulah yang mengerti masalah-masalahnya, aku selalu bersekolah di sekolah yang sama dengannya sejak playgroup. Dari sudut manapun, aku yang paling mengerti! Jadi aku wajib menyukainya!
Tapi Levan tidak pernah menunjukkan rasa suka pada siapapun. Dia itu kelewat pendiam, dingin, bukan angkuh...lebih pada...kesepian, kesepian namun terus memendam semuanya seorang diri, dia sulit terbuka pada orang lain. Mungkin karena masalah-masalahnya, mungkin karena hidupnya.
Aku tak peduli dengan apapun yang orang katakan tentang Levan setelah peristiwa itu. Bahkan aku tak peduli dengan ocehan ibuku, cacian ibuku padanya justru tidak patut menurutku. Harus ada yang mengerti Levan! Sayangnya...orang-orang di luar sana keburu berperspektif sama tentangnya, sama-sama buruk.
Hari senin itu...aku tak tahu bahwa itu adalah hari dimana dia akan benar-benar bertindak jauh di luar batas, itu terekam jelas dalam ingatanku. Kulihat Levan berdiri berjam-jam di depan papan pengumuman setelah seorang murid senior menyuruhnya untuk berpartisipasi dalam acara perpisahan kelas di akhir bulan Juni. Tema kali ini adalah...”Heaven On Earth”.
Tak ada seorangpun di sekolah kami yang lebih bahagia dibandingkan Levan, dia diam-diam merencanakan sesuatu untuk memeriahkan pesta. Ya, memang tugasnya adalah memeriahkan acara. “Dekorasinya jangan murahan, pokoknya semua tanggung jawab lo, Van! Ngerti?” itu kata Bayu, salah seorang murid senior  yang juga merupakan anggota OSIS.
“Dekor yang gimana mau lo?”
“Terserah. Yang jelas cocok sama tema, Heaven On Earth. Nah, yang namanya heaven, berarti indah, banyak bunga-bunga...ada malaikatnya juga, atau apa kek, awan-awan gitu...asap...apa aja yang indah-indah. Yang klise! Bawa burung merpati malah lebih bagus.”
Norak, batin Levan. Tapi jangan khawatir, Levan itu kreatif...dia itu paham estetika. Masalahnya, Bayu tidak tahu bahwa hari itu adalah hari dimana Levan akan bertindak di luar akal sehat dengan mengesampingkan estetika.
“Oke.” Levan mengiyakan.
***
Tanyakan pada anak-anak di sekolahku, bagaimana acara perpisan kelas di akhir bulan Juni lalu, maka semua akan bergidik, enggan, mungkin mereka akan diam, beberapa yang punya keberanian kujamin akan berkoar dengan lantang tentang...‘siapa lagi kalau bukan Levan’.
Acara dimulai pukul tujuh malam, aku ikut membantu dengan menjadi panitia konsumsi. Bayu dan tiga senior lain mulai marah-marah, Levan belum datang juga, padahal dia bertindak sebagai penanggung jawab dekorasi dan kelengkapan acara. Dekorasi memang sudah lengkap, sesuai dengan yang diharapkan, sangat indah...hasil karya Levan, tapi ada yang kurang. Levan menyisakan sebuah tempat luas di atas panggung, dia bilang itu untuk dekorasi utamanya. Diapun pergi, namun dua jam berlalu dan dia tidak juga kembali.
Ada yang salah...
Itu benar, sudah pasti ada yang salah saat itu.
Mendekati pukul delapan, sebuah teriakan nyaring penuh kengerian memecah suasana yang tadinya tenang beralun musik-musik jazz. Teriakan itu semakin bertambah riuh, semakin merambat dari gerbang hingga ke lorong, hingga ke aula, diiringi bunyi langkah derap kaki tak beraturan. Aku yang ada di dalam aula menunggu-nunggu, ingin mengetahui penyebab kegaduhan itu, sama halnya dengan senior-senior lain yang berada di dalam aula.
Betapa kagetnya kami, dari arah pintu aula, Levan yang memakai kaos putih dan kemeja biru berjalan susah payah memasuki aula, wajahnya belepotan bercampur peluh. Dia menyeret sesuatu di balik punggungnya. Bunyi “Srek! Srek!” yang meninggalkan jejak tanah becek di lantai membuat bulu kudukku berdiri! Aku tidak bisa berkata apa-apa, itu...adalah pemandangan paling mengerikan yang pernah kulihat.
Levan sedang menyeret sesuatu, sesosok, entah...aku yakin itu mayat yang sudah membusuk, dibungkus dengan tikar! Baunya menyengat kemana-mana, memenuhi aula.
Dengan cepat kusadari, itu mayat Kak Lusi...
Spontan seisi aula berlarian akibat pemandangan tersebut. Bukan hanya takut, tapi jijik, tidak percaya, tidak sudi, tidak betah baunya!
Semua tahu di belakang sekolah kami terdapat pemakaman umum, tapi hanya sedikit yang tahu kalau kakak perempuan Levan dimakamkan di sana.
“Bukannya malaikat yang mereka mau?” tukas Levan dengan senyum putus asa dari sudut bibirnya.
Levan Levan...jadi itu yang ada di kepalanya?
***

“Seorang Siswa SMA Hebohkan Acara Sekolah”
Jakarta -  SMA Kalista Permai di Jalan Kalihusada Timur, kemarin (13/6/2012) dikejutkan oleh aksi nekat salah seorang muridnya yang berinisial LN (16, laki-laki). Pasalnya LN datang ke sekolah pukul 20:22 WIB, senin dini hari, dengan membawa mayat seorang wanita yang dibungkus dalam tikar, tepat ketika acara perpisahan murid berlangsung.  Menurut saksi mata, mayat tersebut merupakan mayat saudara perempuan LN yang sudah dikuburkan kurang lebih tiga bulan yang lalu di TPU Pondok Cemara. Aksi LN membawa mayat ke sekolah dilanjutkannya dengan aksi pembunuhan AM (16, perempuan) yang juga merupakan murid SMA Kalista Permai. AM menjadi korban pembunuhan sadis pelaku setelah berusaha mendekati dan bicara untuk mencari tahu alasan LN yang tiba-tiba bertindak di luar kewajaran tersebut. Na’as, leher AM justru dijerat dengan tali yang dibawa LN untuk menyeret mayat. AM pun tewas seketika di depan teman-temannya yang hadir di acara malam itu.
“Kami teriak, jangan dekat-dekat dia! Jangan dekat-dekat! Dia udah nggak waras! Tapi malah nggak didengar. Kami kira nggak mungkin lah sampai jatuh korban, tapi ternyata salah, dan kejadiannya itu terlalu cepat!” ungkap Oktarina Ovi (16), murid SMA Kalista Permai, warga Purwaswara. Oktarina menjelaskan bahwa pelaku dan korban memang bertetangga, namun tidak akrab ataupun memiliki hubungan dekat.
Pelaku yang diduga kuat memiliki gangguan psikologis tersebut sudah dibekuk petugas dan dalam pengawasan ketat. Hingga berita ini dilansir belum terungkap jelas motif pelaku melakukan aksi nekat yang berakhir dengan pembunuhan itu. Pihak berwajib akan terus mengusut kasus ini sampai tuntas dengan meminta keterangan selengkapnya dari LN.
“Menurut teman-temannya, pelaku adalah murid yang pendiam, selalu tampak normal, sehari-harinya juga bersikap baik, berprestasi malah. Bisa jadi tindakannya yang buruk itu dipicu oleh tekanan dari keluarga dan sekolah. Saat ditanya, dia hanya meracau dan tertawa. Kami berencana untuk membawanya ke rumah sakit guna penyidikan lebih lanjut” ungkap AKP Agung Leksmono, Selasa (14/6/2012).
***

Kata orang, Levan pikir kakaknya yang sudah mati adalah malaikat, Levan sendiri  tidak lagi bisa berpikir sehat. Levan sudah lama tertekan dan jadi sinting. Tapi aku yang paling mengerti tentangnya, aku yang tahu!
Aku masih menyukainya? Tentu! Itu sudah pasti!
Jangan salahkan dia, jangan marah padanya, semua orang pasti pernah segila Levan. Tidak apa-apa jika dia dan adiknya sependapat bahwa malaikat berasal dari dalam lubang. Tidak ada yang salah akan itu, semua orang juga berhak berpikir sesuka hati mereka. Tapi sekali lagi kuingatkan, ini hanya untuk mengurangi kekacauan yang lebih besar. Pokoknya, jangan mengatakan hal yang tidak-tidak pada Levan, karena dia berbeda, sejak saat itu dia jadi mudah terinspirasi. Mereka bilang Levan gila, tapi di mataku dia cukup normal, Levan cuma cari perhatian. Ya, dan Kak Lusi setuju denganku...
***


 -THE END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar