Aku mau kau, hanya kau, dan
aku tak mau yang lain. Aku tahu kau yang terbaik, tapi kau pun tahu, aku tidak akan
mengecewakanmu. Sayangnya aku menginginkanmu pergi dariku, karena kau hanya
bisa datang di kala senja mulai tiba. Kau tak banyak bicara, lebih suka
tertawa. Kau berbeda dengan yang dulu, tapi aku yakin, itu tetaplah kau. Kapan pun
kau ada, segalanya berjalan seperti yang kita minta. Aku bisa lihat, kau tak
berputus asa. Kau tahu, kau yang paling tahu... Kau tahu bahwa aku tak pernah sedikit
pun meragukanmu. Kau itu kekasihku, meski ronamu tak lagi mempesona, bagiku kau
tetaplah indah. Kau selalu indah...
“Ihihihihihihihihihihi....”
“Jangan
terkikik, Merna!”
“Tidak,
Gad! Aku tidak terkikik!”
“Kau
terkikik melihat pria penjual rokok itu diomeli ibu-ibu yang baru turun dari
bus! Orang-orang sampai menatapi kita ketus!”
Di
depan Merna dan Gadang nampak hiruk-pikuk terminal, bus-bus kelas ekonomi
hingga eksekutif berseliweran, dengan segala macam jenis orang yang datang dan
pergi. Sementara itu, para penjaja makanan serta minuman yang berpeluh nampak
comeng lantaran seharian mengejar pembeli, mereka bahkan agak memaksa ketika
menawarkan dagangannya karena matahari makin tenggelam, menunjukkan bahwa waktu
mereka tidak banyak.
Terminal
di sore hari pun sangat sibuk.
Gadang
menggores-gores buku sketsa di pangkuannya, melanjutkan gambar busnya lagi, kali
ini sebuah bus ekonomi antarprovinsi. Bus tersebut baru tiba dan parkir
sebentar untuk mengganti sopir, juga sedikit memperbaiki kerusakan pada ban.
Cukup
lama Gadang memperhatikan bus itu, mengagumi bentuknya yang balok persegi,
benda yang menurutnya merupakan salah satu penemuan paling keren yang pernah
ada, yang paling banyak digunakan untuk berpindah, lebih minimalis dari kereta,
lebih simple dari kapal, dan lebih
murah dari pada pesawat. Gadang selalu membayangkan, berapa banyak orang yang
telah diangkut benda tersebut? Merasakan keajaibannya, merasakan kegunaannya.
Sudah lama dia mengagumi bus-bus. Sepulang kerja sebisa mungkin dia menyinggahkan
diri ke terminal, sampai-sampai dia hapal betul plat nomor, warna, tujuan, bahkan
sopir bus yang ada di terminal tempatnya menghabiskan waktu.
Orang
tua Gadang tidak pernah mengajak anak mereka naik bus, kemana-mana mereka
selalu naik mobil pribadi, kalau agak jauh mereka memilih kereta, lebih jauh
lagi naik pesawat, dan kalau harus menyeberang laut, pilihannya adalah kapal.
Pertama kali Gadang naik bus justru ketika dia harus mengunjungi orang tuanya
ketika sudah bekerja di luar pulau, itu sudah bertahun-tahun yang lalu.
Terminal lah yang membawanya bertemu dengan Mernata Shinta Waluyo, gadis yang
duduk di sampingnya kini.
“Kau
itu sudah punya banyak gambar bus, coba gambar yang lain!”
“Aku
maunya bus, aku malas kalau gambar yang lain-lain.”
Merna
menatap Gadang sambil membelai lembut bahu pria muda bertampang tenang itu.
“Coba kalau dulu kau dengarkan ibumu...”
“Kalau
kudengarkan dia, aku tak akan bertemu denganmu” jawab Gadang yang berhenti menggambar.
“Rambutmu dulu tidak sepanjang ini, Mer. Ini panjangnya keterlaluan.”
“Mau
dibuat pendek juga sudah terlambat, Gad. Aku sendiri bingung kenapa tiba-tiba
jadi panjang begini.” Merna cemberut.
“Kukumu
juga, kenapa tidak dirapikan?”
“Aku
mau saja. Masalahnya... kalau dipotong nanti tumbuh lagi dan tumbuh lagi, sangat
cepat.”
“Ah,
kau jadi aneh, Merna.”
“Iya,
memang...”
Tanpa
Merna sadari, Gadang merangkulkan tangan kiri ke pundaknya, kemudian berpindah
duduk lebih dekat. “Tidak apa-apa, aku tidak kemana-mana. Aku justru sulit
tidur jika tidak bertemu denganmu, meski kau aneh.”
“Sekarang
kau yang aneh, Gad. Biasanya orang-orang yang akan sulit tidur kalau sudah
bertemu denganku. Mereka ketakutan.”
“Berarti
mereka yang aneh!” sahut Gadang dengan nada tinggi. “Takut pada gadis cantik
sepertimu!”
“Diam...
aku sudah tidak cantik. Lihat, kulitku kusam, perasaanku juga tidak menentu,
kadang aku sangat sedih, kadang aku ingin tertawa lepas melihat dunia.”
“Tentu,
Merna, kau kan kuntilanak. Itu sudah jadi hukumnya, macam rumus fisika, molekul
kita saja sudah berbeda. Tapi jangan khawatir, kau tetap yang tercantik, aku
tetap menyukaimu.”
Merna
tidak menjawab, sebenarnya dia memang tidak punya jawaban. Kalau dia buka
mulut, nanti Gadang akan pergi meninggalkannya. Bohong itu boleh, tidak apa-apa
walau di neraka nanti lidahnya harus dipotong berkali-kali.
Aku mau kau Merna, hanya kau,
dan aku tak mau yang lain. Kau. Bisakah kau menurutiku sekali ini saja? Kau
boleh jadi aneh, kau boleh tak merawat dirimu, tapi kumohon...jangan terkikik,
jangan tertawa keras, jangan tertawa seperti itu lagi.
***
“Gadang mana, Mer?” tanya Wulan sambil menatap
Merna antusias. Mendengar itu Eka langsung berdecak, menyikut-nyikut lengan Wulan
dengan ekspresi tidak nyaman.
“Oh,
dia kerja.”
“Suamimu
itu kerja terus, ya, Mer? Rajin, beda dengan suamiku” Wulan menimpali. “Masih
sering ke terminal?”
“Eh...”
“Iya,
suamimu. Masih sering ke terminal? Kau ini, jangan melamun, Mer!”
“Iya,”
jawab Merna lirih. Tadi dia asyik memperhatikan langit yang mulai berwarna
jingga lewat jendela.
Eka
mengambil cangkir teh hangatnya di meja, segera menyeruputnya, kemudian berdeham.
“Anak-anakmu lucu, ya. Aku tidak menyangka kalau kau punya anak-anak lucu. Dulu
di SMA, kau bilang kau tidak mau punya anak, tapi sekarang malah punya tiga.
Dewita tidak percaya kalau kau punya tiga anak. Coba dia ikut kemari dan lihat
sendiri, pasti kaget. Iya, kan, Lan?”
“Dewita
punya satu anak, tapi dia sudah kewalahan,” balas Wulan geleng-geleng kepala. “Mer,
kau juga sering ke terminal?” tanyanya tiba-tiba.
“Heh!
Kau ini tanya-tanya tentang terminal terus dari tadi! Tanya yang lainnya dong!”
bisik Eka kesal pada Wulan.
Pada
saat yang sama seorang wanita berusia lima puluhan masuk ke ruang tamu,
wajahnya mirip Merna, namun rambut ikalnya yang hitam diselingi rambut abu-abu.
Dia tersenyum manis pada Wulan dan Eka.
“Ibu...”
kata Merna spontan. Merna terlihat cemas, dia meremas-remas tangan dengan gugup
seperti anak sekolahan yang sedang menunggu bel istirahat. Rambut panjangnya
menutupi sebagian wajah, namun tetap, masih nampak kecantikan di baliknya.
“Iya,
Ibu tahu, Nak” tukas wanita yang merupakan ibu kandung Merna itu, seolah-olah
bisa membaca pikiran anaknya. “Permisi... Maaf, Merna ada keperluan penting,
dia harus pergi sekarang. Mengobrolnya lanjut besok ya?”
“Pergi
ke terminal, Tante?”
Ibu
Merna hanya mengangguk, lalu dia menggandeng anaknya masuk. Merna tidak
mengatakan apa-apa, tapi dia tersenyum kecil.
Wulan
dan Eka saling pandang. Mereka tahu Gadang sudah lama meninggal dunia karena
sakit tujuh tahun yang lalu, namun yang mereka dengar Merna tidak akan merespon
siapa pun, kecuali pada orang-orang yang bertanya tentang almarhum suaminya. Jika
tidak, Merna akan kembali ke kamarnya dan tidak mau ditemui. Sekarang mereka
percaya bahwa gosip itu benar.
***
Gaung lapuk di tengah
terminal.
Ada banyak orang dengan
banyak tujuan di terminal.
Terminal ke terminal, jejak
roda ke aspal dan jejak roda lagi.
“Hendak apa kau di
terminal?” tanya ibuku yang baik.
Asap knalpot itu baunya
seperti lauk pauk bagiku.
Ibu tak pernah tahu...
Dari asap knalpot mereka
mencari uang untuk dijadikan lauk pauk.
Mereka pemakan asap knalpot.
Orang-orang di terminal
punya cara sendiri, Bu.
Menyulap asap-asap knalpot,
dan peluh, dan keluh...
Dan raga mereka yang layu,
kuyu, bahkan kalau harus busuk.
Demi lauk pauk...
Lihatlah bus-bus yang
berlalu-lalang di depan jalan.
Kalau perlu pergilah ke
terminal.
Biar Ibu tahu, biar Ibu
sadar.
Mungkin aku ada di antara
bus-bus itu...
Jangan bilang siapa-siapa
Bu, aku ini serpihan usang dalam kesibukan mereka.
Aku ini gaung lapuk di tengah terminal.
***
Ibu
Merna segera melepaskan gandengan anaknya. Merna berlari ke deretan kursi
tempat para penumpang menunggu datangnya bus. Merna sangat kegirangan, dia
terkikik-kikik dan duduk sambil memainkan rambut panjangnya.
“Jangan
terkikik, Merna... Semua orang melihat ke arahmu.”
“Aku
ini kuntilanak, Gad. Wajar kalau harus terkikik.”
“Kasihan
ibumu, Mer.”
“Ah,
Ibu baik-baik saja. Beliau senang kalau aku senang, dan aku senang jadi
kuntilanak.”
Gadang
menghela napas, dia menoleh ke samping, menatap wajah Merna yang masih sangat
menawan seperti dahulu. “Boleh aku minta maaf?”
“Untuk
apa?”
“Mengataimu
kuntilanak setiap waktu.”
“Kumaafkan.”
“Mer,
kau sudah tidak makan berapa hari?”
“Makan?
Untuk apa? Aku kan kuntilanak.”
Gadang
semakin miris mendengarnya, “Aku tahu, Mer...”
“Bagus
itu.”
“Bukan.
Maksudku, aku tahu...” ujar Gadang pelan. “Aku tau kau sangat sedih. Aku
membuatmu sedih, sampai kau jadi begini.”
Merna
memperhatikan kedua tangannya, dia mengerutkan kening saat melihat kuku-kuku di
jarinya sudah panjang dan kotor kehitaman. “Tidak apa-apa, Gad, aku senang.
Bukankah awalnya kau juga senang? Biar saja terus begini, jadi kuntilanak tidak
membuatku sedih. Lihat, yang penting kita bersama. Katamu kau hanya ingin aku,
tak mau yang lain.”
“Apa
itu bisa diubah?”
“Kau
tak mau aku datang ke terminal lagi?”
“Mer,
aku tidak suka saat orang-orang memperhatikanmu dengan tatapan aneh.”
“Tatapan
apa?”
“Yang
seperti itu!” Gadang menunjuk orang-orang yang berseliweran di depan mereka,
kebanyakan adalah para penumpang bus, entah mereka hendak bepergian ke mana.
“Apalagi kalau kau terkikik, mereka semakin menatapmu gusar. Seakan kau ini
berbeda dari mereka!”
“Aku
memang berbeda.”
“Hei,
aku yang berbeda Mer, bukan kau. Aku tidak pernah bisa mengatakan ini, tapi aku
tidak ingin menyusahkanmu lagi.”
“Kau
mau bilang apa? Katakan saja, Gad.”
“Kau...
kau jadi gila, Mer. Gila sungguhan, seperti orang-orang yang ada di pinggir
jalan, yang tidak waras itu.”
“Kau
senang aku begini?”
“Dulu!”
“Ihihihihihihihi....
Sekarang bagaimana?”
“Jangan
terkikik lagi, kumohon...” Gadang memegang tangan Merna dan menciumnya, namun
Merna tidak merasakan apa-apa. Sentuhan itu seperti hembusan udara yang ringan
dan hangat, menerpa tangannya. “Kau bukan kuntilanak, Merna.”
“Kalau
bukan kuntilanak, lalu apa?”
Gadang terdiam, dia memperhatikan
bus-bus yang ada di depannya, mengingat kembali pertemuan pertama dengan Merna
di terminal, di mana dia biasa menggambar bus-bus, mengenal dengan akrab setiap
bagiannya, dan menjadi nyaman dengan itu semua. Kemudian Merna datang,
menanyainya banyak hal.
Sudah sering Gadang mendengar
orang-orang bertanya tentang apa yang dia lakukan di terminal, mengapa dia suka
menggambar bus, atau bagaimana awal ketertarikannya itu muncul. Tapi Merna
tidak. Pertama kali mereka bertemu, dia malah bertanya, “Apa kau tidak takut?
Hari ini bus-bus itu masih ada, tapi entah lima puluh tahun lagi, seratus tahun
lagi, mungkin orang-orang punya alat transportasi baru yang lebih efektif. Apa
kau tidak khawatir? Kalau aku jadi kau dan sangat menyukai bus-bus itu, aku
tidak akan sekadar menggambar, aku akan menabung dan membelinya.”
Gadang tidak mengerti, dari sekian
banyak orang, hanya Merna yang berpikiran jauh di atasnya. Gadang hanya
tertawa, tapi dia mendengarkan Merna dengan seksama. Itulah pertama kalinya
Gadang jatuh hati pada seorang gadis, tidak untuk dijadikan kekasih pujaan
hati, tidak pula untuk dijadikan sekedar pacar untuk dipamerkan.
Gadang kembali menatap Merna, “Kau
itu istriku...”
“Sudah, sudah! Hentikan!” sahut
Merna dengan nada tinggi. “Hari ini kau membuatku kesal, Gad! Aku pulang saja!
Besok kalau suasana hatiku membaik, aku akan datang lagi!” Merna pun bangkit,
kemudian dia ngeloyor pergi sambil terus mengomel dengan muka masam.
Mer, aku mau kau... Kau tahu
itu. Tapi kini aku rusak, aku hanya sekedar gaung lapuk di terminal. Ibumu,
ibuku, mereka bahkan tak menyadari keberadaanku. Bisa apa kau? Bisa apa kita?
Kau melihatku, tapi tak pernah mau mendengarkanku. Bisa apa aku...
-THE END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar