Kamis, 03 Oktober 2013

Gaung Lapuk



Aku mau kau, hanya kau, dan aku tak mau yang lain. Aku tahu kau yang terbaik, tapi kau pun tahu, aku tidak akan mengecewakanmu. Sayangnya aku menginginkanmu pergi dariku, karena kau hanya bisa datang di kala senja mulai tiba. Kau tak banyak bicara, lebih suka tertawa. Kau berbeda dengan yang dulu, tapi aku yakin, itu tetaplah kau. Kapan pun kau ada, segalanya berjalan seperti yang kita minta. Aku bisa lihat, kau tak berputus asa. Kau tahu, kau yang paling tahu... Kau tahu bahwa aku tak pernah sedikit pun meragukanmu. Kau itu kekasihku, meski ronamu tak lagi mempesona, bagiku kau tetaplah indah. Kau selalu indah...
“Ihihihihihihihihihihi....”
“Jangan terkikik, Merna!”
“Tidak, Gad! Aku tidak terkikik!”
“Kau terkikik melihat pria penjual rokok itu diomeli ibu-ibu yang baru turun dari bus! Orang-orang sampai menatapi kita ketus!”
Di depan Merna dan Gadang nampak hiruk-pikuk terminal, bus-bus kelas ekonomi hingga eksekutif berseliweran, dengan segala macam jenis orang yang datang dan pergi. Sementara itu, para penjaja makanan serta minuman yang berpeluh nampak comeng lantaran seharian mengejar pembeli, mereka bahkan agak memaksa ketika menawarkan dagangannya karena matahari makin tenggelam, menunjukkan bahwa waktu mereka tidak banyak.
Terminal di sore hari pun sangat sibuk.
Gadang menggores-gores buku sketsa di pangkuannya, melanjutkan gambar busnya lagi, kali ini sebuah bus ekonomi antarprovinsi. Bus tersebut baru tiba dan parkir sebentar untuk mengganti sopir, juga sedikit memperbaiki kerusakan pada ban.
Cukup lama Gadang memperhatikan bus itu, mengagumi bentuknya yang balok persegi, benda yang menurutnya merupakan salah satu penemuan paling keren yang pernah ada, yang paling banyak digunakan untuk berpindah, lebih minimalis dari kereta, lebih simple dari kapal, dan lebih murah dari pada pesawat. Gadang selalu membayangkan, berapa banyak orang yang telah diangkut benda tersebut? Merasakan keajaibannya, merasakan kegunaannya. Sudah lama dia mengagumi bus-bus. Sepulang kerja sebisa mungkin dia menyinggahkan diri ke terminal, sampai-sampai dia hapal betul plat nomor, warna, tujuan, bahkan sopir bus yang ada di terminal tempatnya menghabiskan waktu.
Orang tua Gadang tidak pernah mengajak anak mereka naik bus, kemana-mana mereka selalu naik mobil pribadi, kalau agak jauh mereka memilih kereta, lebih jauh lagi naik pesawat, dan kalau harus menyeberang laut, pilihannya adalah kapal. Pertama kali Gadang naik bus justru ketika dia harus mengunjungi orang tuanya ketika sudah bekerja di luar pulau, itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Terminal lah yang membawanya bertemu dengan Mernata Shinta Waluyo, gadis yang duduk di sampingnya kini.
“Kau itu sudah punya banyak gambar bus, coba gambar yang lain!”
“Aku maunya bus, aku malas kalau gambar yang lain-lain.”
Merna menatap Gadang sambil membelai lembut bahu pria muda bertampang tenang itu. “Coba kalau dulu kau dengarkan ibumu...”
“Kalau kudengarkan dia, aku tak akan bertemu denganmu” jawab Gadang yang berhenti menggambar. “Rambutmu dulu tidak sepanjang ini, Mer. Ini panjangnya keterlaluan.”
“Mau dibuat pendek juga sudah terlambat, Gad. Aku sendiri bingung kenapa tiba-tiba jadi panjang begini.” Merna cemberut.
“Kukumu juga, kenapa tidak dirapikan?”
“Aku mau saja. Masalahnya... kalau dipotong nanti tumbuh lagi dan tumbuh lagi, sangat cepat.”
“Ah, kau jadi aneh, Merna.”
“Iya, memang...”
Tanpa Merna sadari, Gadang merangkulkan tangan kiri ke pundaknya, kemudian berpindah duduk lebih dekat. “Tidak apa-apa, aku tidak kemana-mana. Aku justru sulit tidur jika tidak bertemu denganmu, meski kau aneh.”
“Sekarang kau yang aneh, Gad. Biasanya orang-orang yang akan sulit tidur kalau sudah bertemu denganku. Mereka ketakutan.”
“Berarti mereka yang aneh!” sahut Gadang dengan nada tinggi. “Takut pada gadis cantik sepertimu!”
“Diam... aku sudah tidak cantik. Lihat, kulitku kusam, perasaanku juga tidak menentu, kadang aku sangat sedih, kadang aku ingin tertawa lepas melihat dunia.”
“Tentu, Merna, kau kan kuntilanak. Itu sudah jadi hukumnya, macam rumus fisika, molekul kita saja sudah berbeda. Tapi jangan khawatir, kau tetap yang tercantik, aku tetap menyukaimu.”
Merna tidak menjawab, sebenarnya dia memang tidak punya jawaban. Kalau dia buka mulut, nanti Gadang akan pergi meninggalkannya. Bohong itu boleh, tidak apa-apa walau di neraka nanti lidahnya harus dipotong berkali-kali.
Aku mau kau Merna, hanya kau, dan aku tak mau yang lain. Kau. Bisakah kau menurutiku sekali ini saja? Kau boleh jadi aneh, kau boleh tak merawat dirimu, tapi kumohon...jangan terkikik, jangan tertawa keras, jangan tertawa seperti itu lagi.
***

 “Gadang mana, Mer?” tanya Wulan sambil menatap Merna antusias. Mendengar itu Eka langsung berdecak, menyikut-nyikut lengan Wulan dengan ekspresi tidak nyaman.
“Oh, dia kerja.”
“Suamimu itu kerja terus, ya, Mer? Rajin, beda dengan suamiku” Wulan menimpali. “Masih sering ke terminal?”
“Eh...”
“Iya, suamimu. Masih sering ke terminal? Kau ini, jangan melamun, Mer!”
“Iya,” jawab Merna lirih. Tadi dia asyik memperhatikan langit yang mulai berwarna jingga lewat jendela.
Eka mengambil cangkir teh hangatnya di meja, segera menyeruputnya, kemudian berdeham. “Anak-anakmu lucu, ya. Aku tidak menyangka kalau kau punya anak-anak lucu. Dulu di SMA, kau bilang kau tidak mau punya anak, tapi sekarang malah punya tiga. Dewita tidak percaya kalau kau punya tiga anak. Coba dia ikut kemari dan lihat sendiri, pasti kaget. Iya, kan, Lan?”
“Dewita punya satu anak, tapi dia sudah kewalahan,” balas Wulan geleng-geleng kepala. “Mer, kau juga sering ke terminal?” tanyanya tiba-tiba.
“Heh! Kau ini tanya-tanya tentang terminal terus dari tadi! Tanya yang lainnya dong!” bisik Eka kesal pada Wulan.
Pada saat yang sama seorang wanita berusia lima puluhan masuk ke ruang tamu, wajahnya mirip Merna, namun rambut ikalnya yang hitam diselingi rambut abu-abu. Dia tersenyum manis pada Wulan dan Eka.
“Ibu...” kata Merna spontan. Merna terlihat cemas, dia meremas-remas tangan dengan gugup seperti anak sekolahan yang sedang menunggu bel istirahat. Rambut panjangnya menutupi sebagian wajah, namun tetap, masih nampak kecantikan di baliknya.
“Iya, Ibu tahu, Nak” tukas wanita yang merupakan ibu kandung Merna itu, seolah-olah bisa membaca pikiran anaknya. “Permisi... Maaf, Merna ada keperluan penting, dia harus pergi sekarang. Mengobrolnya lanjut besok ya?”
“Pergi ke terminal, Tante?”
Ibu Merna hanya mengangguk, lalu dia menggandeng anaknya masuk. Merna tidak mengatakan apa-apa, tapi dia tersenyum kecil.
Wulan dan Eka saling pandang. Mereka tahu Gadang sudah lama meninggal dunia karena sakit tujuh tahun yang lalu, namun yang mereka dengar Merna tidak akan merespon siapa pun, kecuali pada orang-orang yang bertanya tentang almarhum suaminya. Jika tidak, Merna akan kembali ke kamarnya dan tidak mau ditemui. Sekarang mereka percaya bahwa gosip itu benar.
***

Gaung lapuk di tengah terminal.
Ada banyak orang dengan banyak tujuan di terminal.
Terminal ke terminal, jejak roda ke aspal dan jejak roda lagi.
“Hendak apa kau di terminal?” tanya ibuku yang baik.
Asap knalpot itu baunya seperti lauk pauk bagiku.
Ibu tak pernah tahu...
Dari asap knalpot mereka mencari uang untuk dijadikan lauk pauk.
Mereka pemakan asap knalpot.
Orang-orang di terminal punya cara sendiri, Bu.
Menyulap asap-asap knalpot, dan peluh, dan keluh...
Dan raga mereka yang layu, kuyu, bahkan kalau harus busuk.
Demi lauk pauk...
Lihatlah bus-bus yang berlalu-lalang di depan jalan.
Kalau perlu pergilah ke terminal.
Biar Ibu tahu, biar Ibu sadar.
Mungkin aku ada di antara bus-bus itu...
Jangan bilang siapa-siapa Bu, aku ini serpihan usang dalam kesibukan mereka.
Aku ini gaung lapuk di tengah terminal.
***

Ibu Merna segera melepaskan gandengan anaknya. Merna berlari ke deretan kursi tempat para penumpang menunggu datangnya bus. Merna sangat kegirangan, dia terkikik-kikik dan duduk sambil memainkan rambut panjangnya.
“Jangan terkikik, Merna... Semua orang melihat ke arahmu.”
“Aku ini kuntilanak, Gad. Wajar kalau harus terkikik.”
“Kasihan ibumu, Mer.”
“Ah, Ibu baik-baik saja. Beliau senang kalau aku senang, dan aku senang jadi kuntilanak.”
Gadang menghela napas, dia menoleh ke samping, menatap wajah Merna yang masih sangat menawan seperti dahulu. “Boleh aku minta maaf?”
“Untuk apa?”
“Mengataimu kuntilanak setiap waktu.”
“Kumaafkan.”
“Mer, kau sudah tidak makan berapa hari?”
“Makan? Untuk apa? Aku kan kuntilanak.”
Gadang semakin miris mendengarnya, “Aku tahu, Mer...”
“Bagus itu.”
“Bukan. Maksudku, aku tahu...” ujar Gadang pelan. “Aku tau kau sangat sedih. Aku membuatmu sedih, sampai kau jadi begini.”
Merna memperhatikan kedua tangannya, dia mengerutkan kening saat melihat kuku-kuku di jarinya sudah panjang dan kotor kehitaman. “Tidak apa-apa, Gad, aku senang. Bukankah awalnya kau juga senang? Biar saja terus begini, jadi kuntilanak tidak membuatku sedih. Lihat, yang penting kita bersama. Katamu kau hanya ingin aku, tak mau yang lain.”
“Apa itu bisa diubah?”
“Kau tak mau aku datang ke terminal lagi?”
“Mer, aku tidak suka saat orang-orang memperhatikanmu dengan tatapan aneh.”
“Tatapan apa?”
“Yang seperti itu!” Gadang menunjuk orang-orang yang berseliweran di depan mereka, kebanyakan adalah para penumpang bus, entah mereka hendak bepergian ke mana. “Apalagi kalau kau terkikik, mereka semakin menatapmu gusar. Seakan kau ini berbeda dari mereka!”
“Aku memang berbeda.”
“Hei, aku yang berbeda Mer, bukan kau. Aku tidak pernah bisa mengatakan ini, tapi aku tidak ingin menyusahkanmu lagi.”
“Kau mau bilang apa? Katakan saja, Gad.”
“Kau... kau jadi gila, Mer. Gila sungguhan, seperti orang-orang yang ada di pinggir jalan, yang tidak waras itu.”
“Kau senang aku begini?”
“Dulu!”
“Ihihihihihihihi.... Sekarang bagaimana?”
“Jangan terkikik lagi, kumohon...” Gadang memegang tangan Merna dan menciumnya, namun Merna tidak merasakan apa-apa. Sentuhan itu seperti hembusan udara yang ringan dan hangat, menerpa tangannya. “Kau bukan kuntilanak, Merna.”
“Kalau bukan kuntilanak, lalu apa?”
Gadang terdiam, dia memperhatikan bus-bus yang ada di depannya, mengingat kembali pertemuan pertama dengan Merna di terminal, di mana dia biasa menggambar bus-bus, mengenal dengan akrab setiap bagiannya, dan menjadi nyaman dengan itu semua. Kemudian Merna datang, menanyainya banyak hal.
 Sudah sering Gadang mendengar orang-orang bertanya tentang apa yang dia lakukan di terminal, mengapa dia suka menggambar bus, atau bagaimana awal ketertarikannya itu muncul. Tapi Merna tidak. Pertama kali mereka bertemu, dia malah bertanya, “Apa kau tidak takut? Hari ini bus-bus itu masih ada, tapi entah lima puluh tahun lagi, seratus tahun lagi, mungkin orang-orang punya alat transportasi baru yang lebih efektif. Apa kau tidak khawatir? Kalau aku jadi kau dan sangat menyukai bus-bus itu, aku tidak akan sekadar menggambar, aku akan menabung dan membelinya.”
 Gadang tidak mengerti, dari sekian banyak orang, hanya Merna yang berpikiran jauh di atasnya. Gadang hanya tertawa, tapi dia mendengarkan Merna dengan seksama. Itulah pertama kalinya Gadang jatuh hati pada seorang gadis, tidak untuk dijadikan kekasih pujaan hati, tidak pula untuk dijadikan sekedar pacar untuk dipamerkan.
Gadang kembali menatap Merna, “Kau itu istriku...”
“Sudah, sudah! Hentikan!” sahut Merna dengan nada tinggi. “Hari ini kau membuatku kesal, Gad! Aku pulang saja! Besok kalau suasana hatiku membaik, aku akan datang lagi!” Merna pun bangkit, kemudian dia ngeloyor pergi sambil terus mengomel dengan muka masam.
Mer, aku mau kau... Kau tahu itu. Tapi kini aku rusak, aku hanya sekedar gaung lapuk di terminal. Ibumu, ibuku, mereka bahkan tak menyadari keberadaanku. Bisa apa kau? Bisa apa kita? Kau melihatku, tapi tak pernah mau mendengarkanku. Bisa apa aku...
-THE END-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar