Kamis, 03 Oktober 2013

The Night Children



Kau mau cerita seram? Sungguh? Aku sendiri tak pernah suka cerita seram, sebab pendengaranku sangat baik dan ingatanku terlalu kuat. Paduan yang buruk, ya aku tahu, tapi setelah merasakan sendiri bahwa kehidupan nyata jauh lebih seram dari pada roh jahat, psikopat, atau boogeyman, atau nenek sihir separuh kanibal pemakan jantung manusia, kutarik kembali kata-kataku. Seram itu bagus. ITU BENAR! Karena sesungguhnya cerita seram itu penting. Entah bagi orang lain, tapi bagiku itu penting. Sangat penting.
           Cerita seram membuatku tetap yakin bahwa ‘paling tidak’ masih ada secuil kengerian di luar sana yang membuat cemas orang lain sekalipun kehidupan mereka mendekati sempurna. Sekalipun kengerian tersebut diciptakan oleh sekedar ‘cerita’. Itu...‘paling tidak’ cukup membuat adil semuanya.
Menurutku begitulah dunia dijalankan. Harus ada yin dan yang. Ada Bunda Theresa dan Siddhartha, ada juga kebalikan dari mereka. Ada pembunuh berantai, ada pemerkosa anak-anak, ada pula diktator. Ada yang namanya horror. Horror, maestro yang selalu berhasil menjadi epidemi tersukses pencipta kekacauan dalam masyarakat. Masyarakat manapun, di seluruh penjuru dunia, di belahan benua manapun.
Orang-orang jadi kacau ketika mereka takut, ketika horror berada dekat di ujung hidung, seolah dapat diendus kemudian masuk ke dalam rongga tenggorokan dan mencekik tiba-tiba. Percayalah padaku...orang-orang jadi kacau ketika mereka takut.
Aku...tidak, aku tidak takut, aku hanya...kacau, kacau saja...itu sudah cukup. Ketika ibuku mati, tak ada yang bisa kupikirkan selain kekacauan. Aku kacau, adik-adikku kacau.
“Kau mau cerita seram sebelum tidur, Penny?”
           “Tapi Iris...”
           “Kenapa? Apa kau takut?”
          “Tidak. Aku mau cerita seram! Aku bosan mendengarkan cerita yang bagus-bagus, Mom selalu bercerita yang bagus-bagus!”
Penny, adik perempuanku yang paling bungsu sedikit berteriak. Usianya baru enam tahun, namun untuk ukuran anak seusianya dia jauh lebih pemberani dari yang terlihat. Terlalu malah.
            “Aku tak mau cerita apapun. Aku hanya mau tidur, jadi tolong...lakukan apa yang disebut toleransi” sahut Jed, dia adalah anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga kami. Jed sudah sebelas belas tahun dan aku mengerti betul kenapa dia sekarang berubah menyebalkan, yang mana ini tidak terkait dengan pubertas.
Jed menjadi salah satu saksi kunci atas kematian ayah kami yang agak memalukan ketika dia berumur sembilan tahun. Dia melihat Dad sedang berciuman mesra dengan wanita asing di dalam mobil di sebuah tempat parkir kedai kopi Orion’s dekat sekolahnya. Jed hendak membolos untuk bermain arcade game, dia biasa melewati gang yang ada di dekat Orion’s, namun sial malah harus menyaksikan hal yang tak layak dilihat.
Dad sudah pasti tercatat untuk masuk ke neraka saat itu juga, saat sebuah cadillac abu-abu menabrak mobilnya dengan sengaja dari arah depan. Pengemudi cadillac tersebut rupanya adalah kekasih Si Wanita yang menjadi selingkuhan Dad. Dad meninggal di tempat, sementara Si Wanita yang kabarnya hanya empat tahun lebih tua dariku mengalami luka parah. Lalu sekarang, Jed masih harus dihadapkan dengan kematian Mom yang begitu tiba-tiba, seolah dunia berkonspirasi untuk membuatnya jadi sinting.
“Ayo Iris, aku menunggu ceritamu!” Penny menarik-narik lenganku dengan tidak sabar.
Jed mendengus muak. “Aku akan pindah tidur di bangku yang ada di sana” tukasnya. “Bangunkan aku kalau keretanya sudah datang.”
Seorang gadis muda, seorang anak laki-laki, dan seorang gadis kecil di stasiun, tanpa orang tua. Mungkin jika ada yang melihat, orang-orang akan berpikir bahwa kami bertiga punya orang tua yang buruk. Terserah, toh bukan salah Mom kalau kami sekarang nampak ‘perlu dikasihani’. Yang salah itu waktu, dan kesempatan Mom yang tak pernah bisa berpihak padanya. Waktu dan kesempatan, dua hal yang paling membuat ibuku itu sengsara hidup di dunia hingga akhir hayatnya.
“Kau akan bercerita apa, Iris?”
            “Oh, ada satu” tukasku.
            Penny semakin bersemangat. “Cepat! Cepat! Aku mau dengar!”
           “Pada suatu hari, ada seorang wanita berkata pada anak-anaknya, dia bilang kematian itu tidak terlalu menakutkan. Dia bilang mati itu tidak apa-apa, mati itu wajar, sebab kematian membawa manusia ke tempat yang lebih baik.”
            Ada ekspresi khawatir di wajah adik perempuanku Penny, kurasa aku mengawali cerita ini dengan cara yang terlalu seram. Penny mengerutkan dahinya.
           “Lalu apakah benar yang dikatakan oleh wanita itu? Nah, anak-anaknya mulai mencari tahu, sebab mereka adalah anak-anak paling mudah penasaran dibandingkan anak-anak manapun. Mereka pergi ke alam kematian dengan senang hati untuk melihat apakah ibunya benar.”
           “Lalu Iris? Apa yang terjadi selanjutnya?”
          “Tidak ada” jawabku. “Tidak ada yang terjadi selanjutnya, Penny. Kau tahu? Orang bilang semua anak-anak pergi ke surga, tapi nyatanya tidak semua. Beberapa harus menerima hukuman kecil, ya...semoga saja hukuman kecil yang diberi Tuhan tidak abadi. Beberapa anak pergi ke surga, beberapa anak harus menunggu di suatu tempat untuk waktu yang sangat lama karena kebodohan mereka...” Kupeluk Penny ke dalam dekapanku, kugenggam erat tangan mungilnya yang bersarung tangan merah jambu. “Mereka harus berada di suatu tempat, Penny...itu harus... Suatu tempat, seperti...stasiun ini...di setiap malam, mereka akan muncul dan hanya menunggu, hingga kereta yang mereka nantikan datang menjemput.”
       Lima belas tahun yang lalu ibu kami meninggal dunia karena tuberkulosis. Hidup kami seolah berakhir saat itu juga. Tanpa Mom kami bukan apa-apa, tanpa Mom kami hanyalah anak-anak tak ber-rumah. Kami pun dikirim ke panti asuhan yang sama, tetapi agaknya memang sulit menemukan orang tua asuh yang mau menerima kami bertiga secara bersamaan. Terlalu merepotkan, terlalu besar biaya yang harus dikeluarkan, terlalu saja. Itulah kenapa tak ada yang mau mengadopsi kami bertiga, lagipula kami tak mau dipisahkan. Bukan kami, aku...akulah yang tak ingin dipisahkan dari adik-adikku.
       Kutemukan sebuah cara untuk memperbaiki segalanya. Kupikir...awalnya semua pasti bisa diperbaiki. Kupikir...semua tidak serumit yang mereka bicarakan. Aku memilih kematian. Toh Mom sendiri yang bilang bahwa kehidupan setelah kematian jauh lebih baik, katanya segala yang ada akan menjadi sempurna.
      Aku tidak memutuskan ini sendirian. Aku bertanya dulu pada kedua adikku, apakah mereka menyukai rencanaku. Penny...well, dia selalu menyukai semua rencanaku, dia adik perempuanku yang tak pernah berkata ‘tidak’. Lalu Jed, Jed lumayan sulit dibujuk, tetapi dia sedang tidak bisa berpikir, dia masih trauma, jadi rasanya sangat mudah membujuk Jed melakukan apapun yang kumau.
Mauku...kami mati bersama.
     Kujelaskan pada mereka tentang betapa Mom sangat benar mengenai kematian. Kuingatkan kembali pada mereka bahwa kematian itu tidak apa-apa, kematian itu wajar. Persis, seperti yang Mom ceritakan. Mereka mulai percaya. Lebih-lebih karena kukatakan pada Jed satu hal, jika dia seorang yang tidak mati, maka dia akan sendirian hidup dunia yang mengesalkan ini. Kujanjikan pula pada Penny, bahwa dia akan bertemu Mom, lalu akan ada banyak tempat untuk bisa dijelajahi di sana, di atas sana. Karena apa yang ada di atas tidak terbatas!
          Dua adikku begitu polos. Mereka setuju. Maka, dalam perjalanan tahunan panti asuhan kami, diam-diam kami melarikan diri dari kelompok saat berada di stasiun. Kami pergi ke hutan dekat stasiun, lalu kami mati bersama. Ya, kami bertiga mencabut nyawa kami sendiri dengan cara meminum sebotol deterjen yang sudah dicampur dengan berbagai obat kadaluarsa. Karena berada di hutan, pertolongan pun datang terlambat.
Selanjutnya di sinilah kami, berkeliaran di stasiun setiap malam tiba. Tahun demi tahun berlalu, dan cerita-cerita horror mengenai kami mulai dibicarakan, tentang tiga anak yang duduk di stasiun dengan wajah pucat, mencari teman untuk mengantar mereka pergi ke alam baka. Cih! Bukankah keterlaluan? Membuat kami terdengar mengerikan seperti itu! Kami tidak pucat, kami juga tidak berencana mengajak siapapun ke alam baka. Dua adikku saja sudah cukup untuk memeriahkan suasana stasiun tua sepi ini di malam hari.
Meski demikian, aku menyadari sesuatu yang seharusnya kuketahui semasa aku hidup, bahwa sejujurnya...Mom tidak selalu benar, ada yang kurang dari ceritanya mengenai kematian. Ya, tidak ada tempat bagi anak-anak bodoh. Semoga Tuhan memaafkan kebodohanku dan kejahatanku yang sudah mengelabuhi dua adikku. Hanya saja ini tidak adil, di sini bukanlah tempat adik-adikku. Mereka seharusnya ada di surga, tidak terjebak di sini bersamaku.
“Iris, jangan menangis...” kata Penny lirih sambil tersenyum. “Aku senang. Kau selalu bisa membuatku senang dengan cerita-ceritamu. Sungguh!”
“Kau tidak takut?”
“Aku takut, tapi aku tahu kau lebih takut dariku, bukan? Karena itu mari kita bersama-sama berdoa pada Tuhan agar ini cepat berlalu.”
“Kau yakin ini akan berlalu begitu saja, Penny?”
“Ya, aku yakin. Aku tidak meragukan keyakinanku, sebab Tuhan pernah datang pada pemakaman Mom. Tuhan bilang, akan selalu ada surga bagi semua anak.”
“Semua anak?”
“Semua anak.”
“Hei lihat, ada kereta datang!” teriak Jed keras. Dia melompat dari bangkunya dan berlari ke tepian rel. “Ya Tuhan! Kereta sungguhan! Ayo Iris! Penny! Cepat! Akhirnya ada kereta yang datang!”
Setelah lima belas tahun. Lima belas...bukan angka yang mudah.
Penny segera melompat dari pelukanku dan mengikuti Jed. “KERETAAA!!! ITU KERETA!!!” dia juga berteriak-teriak gembira. “Benar kan Iris? Tuhan itu benar! Yay!!!”
Sebuah kereta berwarna keperakan berhenti tepat di hadapan Jed dan Penny, terdapat ukiran-ukiran bartahta berlian di pinggiran kaca-kacanya yang menyilaukan. Pintu gerbong kereta mendadak terbuka. Tidak ada siapa-siapa, namun nampaknya Jed dan Penny tahu bahwa pintu itu terbuka untuk mereka. Mereka pun naik tanpa pikir panjang.
“Ayo Iris! Kau mau di stasiun sampai kapan?” Jed yang tersenyum lebar mengayunkan tangannya, memberikan tanda untukku agar menyusul bersama mereka.
Aku berdiri. Alih-alih berjalan mendekati kereta, aku malah melambaikan tangan. Dari dalam hatiku aku menangis kesakitan, perih rasanya melepas kedua adikku.
“Iris! Apa yang kau lakukan! Cepat naik!” teriak Jed marah diiringi oleh suara peluit dan mesin kereta yang mulai berisik. “Keretanya akan pergi! Cepat naik sebelum keretanya pergi! Cepat, Iris!”
“Pergilah kalian berdua. Aku akan berada di sini dulu sebentar. Cuma sebentar, aku berjanji pada kalian...nanti aku menyusul. Nanti...”
Mungkin...
“IRIIISSS!!!!!” Penny meronta-ronta, namun syukurlah Jed mampu menahan adik perempuanku itu. Kemudian pintu gerbong tertutup dan kereta melaju cepat, menyisakan asap putih di langit malam yang dengan mudah memudar pada hitungan detik.
Hening.
Stasiun kembali sepi, bahkan lebih sepi dari yang sudah-sudah.
Stasiun tua ini tidak berubah setelah lima belas tahun, namun mulai sekarang bagiku semua akan berubah.
Aku membuat kami mati bersama-sama agar kami tak terpisahkan, Kami sempat bersama, tetapi pada akhirnya kami tetap terpisahkan, dan pada akhirnya akulah yang sendirian. Dari sini aku benar-benar memahami betapa tidak menyenangkannya menjadi tokoh di dalam sebuah cerita seram.
Air mataku mengalir perlahan, air mata yang tidak lagi terasa hangat setelah lima belas tahun berlalu dengan sia-sia. Akulah yang membuat segalanya sia-sia.
Maaf Jed, Penny... Itu bukan keretaku. Penny tidak bohong, akan selalu ada surga bagi semua anak. Dan aku...aku bukan anak-anak. Tidak lagi. Bahkan jauh sebelum kita mati, aku sudah menapaki usia ke dua puluh. Lihat, aku ini orang dewasa, bukan anak-anak. Itu...jelas bukan keretaku.

***
-THE END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar