Kamis, 03 Oktober 2013

Yamaraj

illustration by Sveta Dorosheva

Dum! Pletak!
Dudum! Pletak!
Dum bergendum-gendum yang merah dan berdarah-darah.
Yang kau bilang kerak, akulah yang kerak.
Yang kau bilang langit, ya akulah yang di langit...

        Bau busuk masuk ke dalam lubang hidungku dan mencekik tenggorokan dengan kekuatan yang melebihi dorongan tangan. Aku tahu itu bau busuk, tapi yang ini berbeda, yang ini membuatku ingin muntah hingga menarik keluar semua organ dalamku untuk kucuci bersih dengan air sungai bening, agar bau itu benar-benar bersih dan tidak menempel.
 Kata orang, manusia bisa menyesuaikan diri dengan kondisi sekitarnya setelah membiasakan semua inderanya bekerja selama beberapa menit. Seperti di kegelapan, awalnya akan terasa sangat gelap jika tiba-tiba mati lampu, namun lama-kelamaan mata kita akan terbiasa dan meskipun pengelihatan tidak begitu baik, setidaknya indera yang lain bekerja dan mampu membuat kita meraba-raba.
 Di sini berbeda. Kalau saja indera penciumanku mampu melontarkan kata-kata sepertiku, mungkin mengumpat adalah hal pertama yang akan dilakukannya. Sama sepertiku yang dengan mudah mengumpat pada kubangan-kubangan keruh setelah hujan berhenti ataupun pada bunyi sombong klakson-klakson di tengah jalanan macet.
 Kasihan hidungku. Sungguh kasihan.
 Lebih dari hidungku, aku justru mulai prihatin dengan diriku sendiri. Keprihatinan ini bukan tanpa alasan, di hadapanku berdiri seekor, ya benar, se-e-kor, sapi, tunggu...atau mungkin kerbau, atau entah itu lembu atau manusia berkostum setengah-setengah, antara sapi, kerbau, dan lembu. Oke, anggap saja itu kerbau, karena dia bertanduk. Aku tidak tahu kebenaran pengelihatanku, yang pasti apa yang kulihat di depan mataku itu agak menjijikkan. Aku berhak menggunakan kata ‘menjijikkan’ walaupun kerbau itu memakai semacam kain putih yang digunakannya sebagai celana. Celana seadanya.
Jika penjelasanku ini belum terdengar kurang waras, biar kutambahkan lagi satu hal. Aku tidak bohong, tapi kerbau itu berdiri, dengan dua kakinya! Dia memakai celana dan bisa berdiri. Nah, sekarang tak perlu kujelaskan kembali kenapa itu kusebut menjijikkan. Maksudku, itu seekor kerbau bercawat yang bisa berdiri!
Badan Si Kerbau berbulu putih, meski begitu dia mengeluarkan bau yang amat...sangat, melebihi bau batang tikus, kalikan seribu, bau. Dia sangat bau. Jadi aku menarik kesimpulan bahwa yang melekat di tubuhnya itu bukanlah kostum kerbau yang tidak dicuci berminggu-minggu, melainkan kulit kerbau putih yang memang baunya keterlaluan.
“Mooo... Mooooo...” Si Kerbau melenguh.
Aku berusaha untuk tidak melakukan kontak mata dan untungnya saat ini kondisiku sedang digantung terbalik, membuatku tidak dapat melakukan kontak mata dengan makhluk itu. Syukurlah. Pria sepertiku tahu kapan waktunya bertindak jantan dan kapan untuk diam saja supaya selamat.
Aku tidak ingat siapa yang mengikat kakiku dengan tali dan siapa juga yang menggantungku di tempat ini. Lagipula, tempat apa ini? Seingatku aku sedang melakukan ekspedisi di Nepal bersama kru dari sebuah majalah petualangan alam terkemuka dari Amerika. Setelah tiba di Tibet, kami beristirahat sebentar di sebuah rumah milik penduduk lokal, rencananya enam hari kemudian kami akan memulai pendakian di Himalaya.
Pemilik rumah tempat kami tinggal menawarkan tur gratis ke Kathmandu Valley, kami pun setuju, mengingat tempat tersebut memang menjadi salah satu tujuan wisata wajib di Nepal. Dan...sepertinya hanya sampai di situ ingatanku berhenti. Selebihnya berupa potongan-potongan kabur antara tersesat, cahaya keemasan, dan ingatan-ingatan kecil yang membekas dari cerita seorang biksu tua mengenai makhluk-makhluk mistis penjaga Nepal. Lalu di sinilah aku. Berkutat dengan bau busuk.
“Mooo...mooo... Makan malam, mooooo...” Si Kerbau mengambil sebuah belati perak dan mengacung-acungkannya ke atas sambil melenguh gembira. Aneh, aku seolah mengerti bahasa Si Kerbau begitu saja.
Ini menyedihkan. Mimpi ini menyedihkan...
Setidaknya aku tidak sendiri kalaupun mimpi buruk ini sungguhan. Kulihat teman-teman ekspedisiku juga tergantung terbalik di berbagai tempat. Ada yang di ujung ruangan, ada yang di sampingku dalam keadaan yang aku tak ingin tahu dia pingsan atau sudah mati, ada pula yang tergantung tepat di depanku. Kami semua seperti tuna-tuna raksasa di tempat pelelangan ikan yang masih segar dan siap didistribusikan.
“Duruduuu...hari ini makan besar, setelah setahun menunggu. Hmm...duruduuu... Nyam, nyam...” kata seekor tuna. Benar-benar ikan tuna! Dia muncul dari balik ruangan gelap seraya bergumam dengan nada riang. Kedua bola matanya yang bundar besar berair seperti sedang menangis, tapi dari sinar wajahnya yang kelewat cerah, aku tahu bahwa dia sedang menikmati suasana di sekitarnya.
Ya Tuhan, aku tidak akan berbicara yang aneh-aneh lagi. Si Kerbau sudah cukup menjijikkan, sekarang ada seekor tuna dengan dua tangan dan dua kaki yang bernyanyi riang seolah hari ini adalah ulang tahunnya. Tempat penyiksaan macam ini sesungguhnya lebih mengerikan dari neraka, dan meski aku belum pernah ke sana, aku berharap agar tempat ini tidak menginspirasi para arsitek neraka kelak.
“Ahaaa! Ahaaa! Aku membawa lagi satu buruan untuk makan malam kita! Wanita tua yang tersesat, semakin lama semakin bagus, kaldu akan semakin sempurna!” Sebuah kepakan sayap terdengar, diiringi oleh suara tawa melengking. Makhluk lainnya turun, kali ini seekor angsa putih. Angsa itu menurunkan seorang wanita tua berambut kelabu acak-acakan. “Cepat! Siapkan air panas!”
Si Angsa mungkin adalah makhluk dengan penampilan paling normal di sini. Dia hanya terlihat seperti burung biasa. Burung yang baik hati malah. Sayangnya itu semua tipu muslihat. Tidak ada burung angsa di dunia ini yang nampak antusias menjadikan seorang wanita tua sebagai kaldu supnya.
Si wanita tua tidak bicara apa-apa, dia meringkuk di lantai bermarmer hitam segelap langit malam, sewarna dengan jiwanya yang ketakutan, yang dalam hati tak rela dilahap oleh tiga makhluk keji di sekelilingnya. Mungkin ini sudah takdirnya, tak ada lagi daya upaya. Mungkin dewa memang sedang beeristirahat sejenak dan sengaja tidak mempedulikannya. Mungkin...mungkin ini ajalnya.
Malangnya wanita tua itu.
Malangnya kami.
Mendadak Si Kerbau, Si Tuna, dan Si Angsa menyeret Si Wanita Tua ke dalam ruangan gelap yang ada di sebrang. Ruangan itu berpintu kayu, dan sepertinya kayu yang menempel adalah pohon yang sedang bertumbuh. Di balik pintu itu besar kemungkinan adalah dapur. Menarik. Sekarang bukan hanya diriku saja yang tampak memprihatinkan. Seluruh peristiwa dan tempat ini tampak memprihatinkan, tetapi kalau lama-lama dipikirkan justru malah berubah konyol.
Sedang apa kami di sini?
Pasti ada alasan kenapa kami di sini?
Belum selesai aku bertanya-tanya, aku mendengar suara bersahut-sahutan sedang bernyanyi, menyanyikan semacam lagu anak-anak dengan soneta yang riang gembira. Aku penasaran dengan apa yang sedang terjadi di sebrang sana, di dalam ruangan gelap tempat para makhluk itu berpesta.
“Dum! Pletak!”
“Dudum! Pletak!”
“Dum bergendum-gendum yang merah dan berdarah-darah.”
“Yang kau bilang kerak, akulah yang kerak.”
“Yang kau bilang langit, ya akulah yang di langit.”
“Kahyangan tidak indah.”
“Langit berbunyi dum durudum pletak!”
“Di sini kami mengaduk-aduk merah dan berdarah-darah.”
“Jangan berhenti di sini, di sini kami yang beraksi.”
“Jika kau mendengar gemuruh dum bergendum-gendum.”
“Menyanyilah.”
“Menyanyilah selagi kami memasak.”
Semoga Tuhan memaafkan dosa-dosa manusia sepertiku, yang terlena dengan gemerlapnya dunia.
“Psst! Morpheus! Hei! Kau belum mati, bukan?”
Aku dengan segenap tenaga yang tersisa berusaha mendongak. Fotografer asal Kanada bernama Rodson Sharven di sampingku yang tadinya kukira mati ternyata masih hidup dan cukup kuat untuk mengayun-ayunkan badannya ke kiri dan ke kanan, mencoba membangunkan yang lain.
“Rodson! Kita harus keluar dari sini!” seruku.
“Jangan asal bicara!”
“Aku tak peduli! Aku hanya ingin pulang dan minum wine!”
“Ssst! Tidak bisa Morph! Lihat sekelilingmu. Lihat, tidak ada jalan keluar!”
“Harus ada!”
“Bodoh kalian” sahut sebuah suara dari sisi kananku. Itu adalah Jeff Richardmore, seorang bilyuner Texas yang sudah sering mengikuti berbagai ekspedisi. “Tidakkah kalian ingat apa yang terjadi? Seorang biksu tua bercerita pada kita tentang kuil Pangboche di daerah pegunungan terpencil Himalaya, dia bilang kuil itu menyimpan sebuah tangan aneh yang dipercaya sebagai tangan Yeti. Kita jadi penasaran dan bersikeras pergi lebih awal untuk mendaki Himalaya! Kita terkena longsoran salju! Kemudian kita tak sadarkan diri dan berada di sini! Tahukah kalian apa artinya? Ini semua telah direncanakan! Kita memang diarahkan kemari! Untuk dijadikan santapan dewa-dewa mereka! Tidak ada jalan keluar!”
Aku mendelik, kerongkonganku yang kering kini seperti dialiri kerikil-kerikil kecil. Sulit rasanya berkonsentrasi sekaligus menyampaikan pendapatku, atau yang lebih tepat keluhanku, dalam keadaan seperti ini. “De...uhuk uhuk!” aku tersengal. “De...wa?”
“Ya! Penduduk Nepal percaya bahwa sapi atau kerbau adalah hewan suci. Mereka bahkan memiliki sebuah festival bernama Gai Jatra yang berkaitan dengan hewan suci itu. Ingat kembali, saat berada di Kathmandu kita menyaksikan festivalnya, karena jalan utama di sana memang digunakan sebagai rute festival.”
“Kau benar! Aku ingat, Jeff!” Rodson menyiyakan. “Dan festival itu adalah untuk memuja Yamaraj! Dewa...”
“KEMATIAN!” pekik kami bertiga spontan.
Aku dan kedua teman ekspedisiku yang selamat tidak akan melupakan hari-hari dimana kami tersesat dan terjebak di rumah dewa. Di sana tidak seindah dan seglamor yang manusia pernah bayangkan, tentang apa itu yang disebut kahyangan. Setidaknya begitulah kesanku mengenai salah satu rumah dewa yang tidak sengaja kami kunjungi. Entah seperti apa rumah dewa-dewa yang lain, aku hanya tahu bahwa rumah dewa yang pernah kulihat penuh dengan kengerian.
Aku tahu mereka tidak bermaksud jahat, mereka hanya melakukan apa yang sudah seharusnya mereka lakukan tiap tahun. Mengisi perut. Kalaupun apa yang mereka santap kurang manusiawi, itu bukan pilihan mereka. Terkadang aku justru merasa kitalah yang bertindak sebagai orang jahatnya, bahwa manusialah yang terlalu sombong dan kurang manusiawi. Kita bebas melakukan apapun sesuka hati, berjalan kesana-kemari menggunakan sesuatu yang kita bangga-banggakan bernama akal, menyantap hewan apapun setiap hari, setiap tahun, setiap waktu. Tanpa rasa bersalah, terkadang tanpa pula rasa syukur. Kita hanya bisa makan dan makan. Kemudian hal buruk terjadi, kemudian kita menyalahkan yang lainnya. Lupa bahwa kita sendiri merupakan makhluk terkejam di muka bumi.
Banyak orang yang tidak mempercayai kisahku. Mereka bilang aku ini pembual. Tak apa, aku yakin semua misteri akan menjadi lebih menarik jika tetap berada tipis di antara realitas dan kebohongan. Tentang bagaimana cara kami selamat, itu adalah misteri kami bertiga. Bohong atau tidak, Rodson dan Jeff tahu pasti bahwa akulah yang menyelamatkan nyawa mereka, dan katakan saja mereka berhutang besar padaku. Sangat besar.
Si Kerbau, Si Tuna, dan Si Angsa, tiga makhluk itu menungguku kembali mendaki Himalaya untuk yang kedua kalinya. Jika waktu itu tiba, itu berarti jalanku sudah benar dan aku tak lagi menjadi orang yang doyan makan segala. Ya. Itulah saat yang tepat untuk mendaki Himalaya. Itulah saat yang tepat bagi mereka untuk memulai makan malam terbaiknya.

 -THE END-


Tantangan menulis #absurd @JiaEffendie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar